IIED: Hanya 10 Persen Dana Iklim yang Sampai ke Masyarakat Adat

Reading time: 2 menit
Laporan IIED menyebut hanya 10 persen dana iklim yang sampai ke masyarakat adat. Foto: Yayasan EcoNusa
Laporan IIED menyebut hanya 10 persen dana iklim yang sampai ke masyarakat adat. Foto: Yayasan EcoNusa

Jakarta (Greeners)  – Dari berbagai perkembangan wacana pendanaan iklim, baik nasional maupun global, yang mencuat bertepatan dengan Konferensi Iklim COP 30 di Brazil, hanya sekitar 10 persen dana iklim yang benar-benar sampai ke kampung-kampung dan masyarakat adat. Temuan ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh International Institute for Environment and Development (IIED).

IIED menemukan bahwa dari total US$17,4 miliar untuk proyek iklim (2003–2016), hanya sekitar US$1,5 miliar (kurang dari 10 persen) yang penggunaannya untuk aktivitas di tingkat lokal. Hambatan utama dalam penyaluran dana tersebut adalah kerumitan birokrasi.

CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar, menilai justru masyarakat adat dan masyarakat lokal yang ada di kampung-kampung tersebutlah yang menjaga alam. Mereka juga yang paling terdampak krisis iklim.

“Kami mempercayakan pengelolaan dana kepada masyarakat adat dan membantu prosesnya. Mulai dari penulisan proposal sampai menjaga bukti pembayaran untuk akuntabilitas dan lain sebagainya. Jadi bukan mempersulit, tapi mempermudah,” kata Bustar dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet tentang Utang Ekologis dan Keadilan Pendanaan Iklim, di Jakarta Selasa (18/11).

Ia mencontohkan masyarakat adat di Raja Ampat, Papua, yang memiliki homestay. Kini mereka kesulitan membangun kembali usaha mereka karena tidak beroperasi sepanjang pandemi Covid-19. Kesulitan ini muncul karena mereka tidak mudah mendapatkan akses pendanaan. Padahal, homestay tersebut merupakan sumber penghidupan utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga membiayai sekolah anak-anak mereka.

“Padahal, kalau mendapat pendanaan dan bisnisnya berjalan kembali, masyarakat mau mengembalikan dana tersebut. Jadi bukan minta, dan merekalah yang selama ini menjaga terumbu karang, menjaga hutan di sana,” ujarnya.

Bustar juga menyinggung tentang rencana mempercepat pengakuan hutan adat, seluas 1,4 juta hektare hingga 2029 yang Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ucapkan, saat pembukaan konferensi iklim COP 30 di Brazil. Menurut Bustar, proses verifikasi hutan adat tersebut juga membutuhkan pembiayaan yang besar.

“Kalau misalnya komitmen dana yang negara-negara maju sampaikan bisa jalan, proses pengakuan ini bisa lebih cepat,” katanya.

Menuntut Negara Maju Beri Pendanaan Iklim

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell menuntut komitmen negara-negara maju dalam pendanaan iklim. Hal itu ia sampaikan dalam pembukaan COP 30-UNFCCC di Belem, Brasil pada 10 November 2025. Menurutnya, komitmen tersebut penting untuk memastikan kelangsungan hidup manusia, planet, dan masa depan.

Namun, program global yang seharusnya membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim tersebut justru sudah melenceng dari komitmen awal. Alih-alih membayar utang tersebut melalui hibah, mayoritas pendanaan iklim yang dijanjikan justru diberikan dalam bentuk pinjaman. Padahal, beberapa negara, terutama negara berkembang hanya memiliki APBN terbatas dan memiliki banyak persoalan lain yang perlu diselesaikan. Di antaranya penanggulangan kemiskinan dan pendidikan sehingga budget untuk mitigasi iklim sangat terbatas.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa dalam kesepakatan Paris, negara maju juga memiliki mandat untuk membantu negara berkembang. Untuk itu, bukan hanya memberikan akses, tapi juga pendanaannya.

Bhima mengatakan, pendanaan iklim yang terjadi selama ini justru memperkaya negara kaya dan menambah utang negara miskin. Bahkan, gagal memberikan manfaat lingkungan yang dijanjikan.

Hasil investigasi Reuters menunjukkan bahwa isu perubahan iklim dimanfaatkan sebagai peluang bisnis baru. Negara maju membeli surat utang negara berkembang dengan imbal hasil tinggi sebesar 6–10 persen. Mereka juga kerap mengikat negara berkembang dalam program transisi yang sarat pinjaman, seperti JETP.

Menurut Bhima, pemerintah mestinya mengubah paradigma bahwa dana restoratif hanya berasal dari utang dari luar negeri maupun menjual kredit karbon. Pemerintah seharusnya juga berkomitmen untuk menagih utang pendanaan iklim kepada negara-negara maju tersebut.

“Ini bisa menjawab keadilan dalam sistem pendanaan iklim. Termasuk dari bank-bank BUMN dan swasta yang belum membayarkan dosa-dosa iklimnya namun terus menyalurkan pinjaman kepada sektor ekstraktif,” ujar Bhima.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top