LBH Makassar: Penahanan Nelayan Kodingareng Menyalahi Prosedur

Reading time: 3 menit
Koalisi Selamatkan Laut
Aksi Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mendesak pemerintah Belanda untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan PT Royal Boskalis di perairan Makassar. Aksi ini dilakukan di depan pintu utama Kedutaan Besar Belanda, di Jakarta, Selasa, 28 Juli 2020. Foto: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)

Jakarta (Greeners) – Penjemputan hingga penahanan aktivis lingkungan dan masyarakat sipil masih terus terjadi di tengah ancaman pandemi Covid-19. Seorang nelayan Pulau Kodingareng, Kota Makassar bernama Manre ditahan lantaran merobek amplop yang berasal dari perusahaan penambang pasir. Sementara aktivis lingkungan hidup, Slamet Riadi, yang sedang bersama nelayan juga turut diperiksa. Kriminalisasi diduga terjadi karena nelayan menolak aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Royal Boskalis untuk proyek Makassar New Port (MNP).

Ketika dihubungi Greeners, Ady Anugrah Pratama Advokat Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengonfirmasi adanya penjemputan paksa terhadap aktivis lingkungan dan nelayan.“Keduanya langsung dibawa ke Polair Polda Sulawesi Selatan,” ucap Ady, pada Sabtu, (15/08/2020).

Baca juga: Lindungi Kehati Indonesia, LIPI Bangun Konservasi Eksitu Rumah Kaca Raksasa

Sebelumnya Manre telah diperiksa sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana perusakan uang. Setelah pemeriksaan, ia ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai telah merendahkan rupiah sebagai simbol negara. Manre pun kembali dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun, pada panggilan pertama ia tak sempat hadir lantaran rentang waktu yang mepet sehingga ia menunggu panggilan kedua.“Ia tak pernah menerima panggilan kedua, tiba-tiba dijemput paksa,” ujarnya.

Ady menuturkan, pada (14/08) sekitar pukul 08.00 WITA, tiga orang tak berseragam yang mengaku petugas kepolisian datang dan menjemput paksa nelayan Pulau Kodingareng itu. Slamet, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan menanyakan kepada petugas alasan Manre dibawa paksa ke kantor Satuan Polisi Perairan. Petugas berdalih bahwa penjemputan paksa terkait dengan panggilan kedua.

Aktivis mendesak pemerintah Belanda untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan PT Royal Boskalis di perairan Makassar. Foto: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)

Slamet lalu meminta untuk diperlihatkan surat pemanggilan kedua. Namun, petugas tak langsung memberikannya dan menelepon anggota lain. Tak berselang lama sejumlah anggota tanpa seragam datang membawa surat yang dimaksud. Saat aktivis itu hendak membukanya, petugas langsung menarik surat dan membawa Manre bersama Slamet ke Kantor Polair Polda Sulawesi Selatan.“Slamet dianggap menghalangi kasus penyidikan dugaan tindak pidana perusakan uang yang diduga dilakukan Manre,” kata Ady.

Namun, di hari yang sama aktivis lingkungan itu dilepaskan sementara Manre diperiksa dan ditahan setelah dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Nelayan tersebut ditahan diduga karena melanggar Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.“Manre sama sekali tak mengetahui di dalam amplop yang berasal dari perusahaan berisi uang. Tak ada maksud untuk merobek uang atau merendahkan rupiah sebagai simbol negara,” ujarnya.

Baca juga: Gajah Jinak Sumatera Ditemukan Mati di Unit Konservasi

Ia menuturkan saat ini nelayan didampingi oleh tiga orang penasehat hukum dari LBH Makassar dan sedang menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Kantor Polair Polda Sulsel.“Karena sudah ditahan kami menempuh upaya penangguhan penahanan, tapi belum mendapat jawaban soal permohonan penangguhannya. Kami juga berencana akan menempuh praperadilan terkait penetapan tersangkanya,” ucap Ady.

Menurut pengacara LBH Makassar itu, Polair Polda Sulawesi Selatan telah melakukan tindakan sewenang-wenang karena menyalahi prinsip fair trial atau melanggar hak-hak tersangka. Misalnya, hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang bisa dimengerti perihal pemanggilan terhadap seseorang sebagai tersangka. Berikutnya, hak untuk menghubungi penasehat hukum di setiap proses penyidikan. “Secara prosedur penyidik memiliki kewenangan menjemput paksa jika Manre telah dipanggil sebanyak dua kali secara sah, namun tidak dipenuhinya,” ujarnya.

Ia meminta pemerintah untuk membebaskan nelayan Manre, terlebih di situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan pembatasan jarak demi mencegah penularan virus di dalam ruang tahanan. Hal ini sangat kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang mengeluarkan tahanan untuk menekan penularan Covid-19.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top