827 Pejuang Lingkungan Dikriminalisasi Imbas Konflik SDA

Reading time: 3 menit
Walhi mencatat pada tahun 2014 hingga 2023 sebanyak 827 pejuang lingkungan hidup mengalami kriminalisasi. Foto: Walhi
Walhi mencatat pada tahun 2014 hingga 2023 sebanyak 827 pejuang lingkungan hidup mengalami kriminalisasi. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat pada tahun 2014 hingga 2023 sebanyak 827 pejuang lingkungan hidup dikriminalisasi, intimidasi, bahkan kekerasan. Hal ini berujung pada kematian akibat konflik sumber daya alam (SDA) yang terjadi.

Dari jumlah tersebut, tercatat 6 orang meninggal dunia, 145 orang ditangkap dan 28 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka. Sementara, 620 orang pejuang lingkungan lainnya mengalami peristiwa kekerasan yang mengakibatkan luka-luka.

“Jumlah tertinggi tercatat pada tahun 2022. Di mana 253 orang pejuang lingkungan di Indonesia mengalami peristiwa kriminalisasi dan kekerasan,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi di Jakarta, Senin (18/3).

Sementara itu, selama sembilan tahun terakhir (2015-2023), Konsorsium Pembaruan Agraria pun mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektare. Konflik itu berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat.

BACA JUGA: AMAN: 8,5 Juta Hektare Wilayah Masyarakat Adat Terampas

Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan. Kemudian, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria.

Menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas 5,7 juta hektare. Korban yang terdampak sebanyak 900 ribu rumah tangga petani.

“Terdapat 1.354 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi. Kemudian, 553 orang mengalami kekerasan, 110 orang tertembak, dan 70 orang tewas,” kata Dewi.

Dewi menambahkan, hadirnya ribuan konflik agraria dan kriminalisasi menandakan bahwa pemerintah enggan menyelesaikan konflik secara berkeadilan dalam kerangka reforma agraria. Pemerintah tidak memprioritaskan tanah untuk rakyat, melainkan kepentingan investasi dan pembangunan yang berpihak pada badan usaha skala besar. Kini, semua itu terfasilitasi oleh berbagai politik kebijakan pemerintah.

Ilustrasi masyarakat adat. Foto: AMAN

Ilustrasi masyarakat adat. Foto: AMAN

672 Masyarakat Adat Dikriminalisasi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sejak 2014 hingga 2022 terjadi 301 kasus yang menimpa masyarakat adat. Seluruh konflik itu telah merampas 8,5 juta hektare wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga masyarakat adat.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Simbolinggi menyatakan dalam 10 tahun terakhir kondisi masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan, dan perempuan semakin memburuk. Agenda-agenda seperti pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak rakyat melalui pengakuan wilayah adat, penyelesaian konflik agraria, dan pemulihan lingkungan mundur jauh ke belakang.

“Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan di sektor agraria-SDA, menjadi sinyal terbaru bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa selama satu dekade terakhir ini, sejatinya tidaklah bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang telah dijamin oleh konstitusi,” ujar Rukka.

Menurutnya, negara masih terus-menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas. Hal ini tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat. Bahkan, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.

Tantangan Indonesia Semakin Berlapis

Walhi, KPA, dan AMAN menyatakan bahwa pada tahap terakhir masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo ini, Indonesia memasuki era penuh tantangan yang semakin berlapis. Upaya untuk menyelesaikan konflik agraria, memulihkan lingkungan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, serta penguatan demokrasi telah mengalami kemunduran. Masalah tersebut akibat berbagai politik kebijakan yang anti agenda kerakyatan.

Jika situasi ini berlanjut, maka akan semakin parah pada masa pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih 2024. Sebab, penuh dengan kecurangan dan sarat dengan agenda-agenda politik untuk melanggengkan dinasti politik Presiden Jokowi.

BACA JUGA: 10 Hak Masyarakat Adat Terampas Akibat Proyek di Rempang

Saat ini, berbagai regulasi dan kebijakan terus digodok untuk melancarkan skenario tersebut. Salah satunya adalah rencana kebijakan untuk memasukkan TNI-Polri dalam jabatan-jabatan publik. Situasi tersebut, akan semakin memperparah kemunduran demokrasi dan menjadi ancaman bagi masa depan agenda kerakyatan di Indonesia.

Berdasarkan berbagai situasi tersebut di atas, Walhi, KPA, dan AMAN menyatakan beberapa sikap. Di antaranya, mereka prihatin dengan hasil pemilu lahir dari proses kecurangan yang sistematis. Kemudian, mendesak DPR RI agar segera menjalankan fungsi konstitusionalnya untuk mengusut berbagai dugaan tindak kecurangan Pemilu 2024.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

 

Top