Investasi Hijau Tiongkok Capai US$ 250 Miliar, Indonesia Jadi Tujuan Utama

Reading time: 2 menit
Investasi hijau Tiongkok mencapai US$ 250 miliar. Foto: Freepik
Investasi hijau Tiongkok mencapai US$ 250 miliar. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia menempati posisi peringkat pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau China. Klaster investasi nikel dan bahan prekursor, serta pusat baru proyek manufaktur panel surya, menjadikan Indonesia poros penting dalam rantai nilai industri hijau global yang tengah Tiongkok kembangkan.

Temuan ini terungkap dalam laporan kebijakan berjudul “China’s Green Leap Outward” terbitan Net Zero Industry Policy Lab. Laporan tersebut mencatat, perusahaan Tiongkok telah mengucurkan investasi sedikitnya US$ 227 miliar, bahkan mendekati US$ 250 miliar ke proyek manufaktur hijau global. Angka ini melampaui nilai investasi Marshall Plan Amerika Serikat sebesar US$ 200 miliar (dalam dolar 2024) ketika negara tersebut mendominasi industri serupa.

Saat ini ASEAN masih menjadi tuan rumah proyek terbanyak, meski aliran modal ke Timur Tengah dan Afrika Utara melonjak lebih dari 20% dari kesepakatan baru.  Meski demikian, Indonesia bersama Malaysia, Brasil, dan Hungaria tetap menarik aliran proyek baru secara stabil.

Co-director Net Zero Industrial Policy Lab Johns Hopkins, Tim Sahay mengatakan bahwa ekspansi perusahaan Tiongkok menimbulkan pertanyaan besar. Megaproyek industri hijau ini bisa membawa hasil pembangunan positif atau justru menjadikan negara tuan rumah sebagai ‘pulau manufaktur’. Hal ini sangat bergantung pada pilihan kebijakan domestik masing-masing negara.

“Negara-negara perlu merencanakan, mendanai, dan melaksanakan kebijakan industri hijau serta bernegosiasi keras dengan perusahaan Tiongkok demi mencapai prioritas pembangunan berkelanjutan,” kata Sahay dalam keterangan tertulisnya.

Operasi Terpusat di Indonesia

Manufaktur material baterai kini menjadi sektor terbesar dalam belanja teknologi hijau luar negeri Tiongkok. Setelah memasukkan proyek 2025, nilai komitmen yang diumumkan melebihi USD 62 miliar, meski jumlah proyeknya hanya separuh dari proyek surya.

Investasi tersebut sangat terpusat di kawasan ASEAN, terutama Indonesia yang memiliki cadangan nikel dan kobalt melimpah. Sebagai contoh, produsen material baterai berbasis nikel seperti CNGR, Huayou Cobalt, dan GEM memusatkan operasinya di Indonesia.

Selain ASEAN yang tetap menjadi kawasan paling aktif, laporan tersebut juga mencatat kemunculan titik panas baru, yakni Indonesia untuk material baterai. Kemudian, Maroko untuk fasilitas katoda dan hidrogen, serta negara-negara Teluk untuk manufaktur modul surya dan elektroliser.

Sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat masih menarik proyek bernilai tinggi, khususnya di baterai dan surya. Namun, hambatan perdagangan yang meningkat mendorong arus modal bergeser ke Amerika Latin, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

Laporan tersebut merekomendasikan agar negara-negara memanfaatkan keunggulan sumber daya yang dimilikinya. Negara dengan mineral kritis, energi terbarukan berlimpah, atau pasar konsumen besar dapat menempatkan diri dalam rantai pasok yang berpusat di Tiongkok. Namun, dengan catatan harus memastikan adanya transfer teknologi, perlindungan lingkungan, serta klausul penambahan nilai lokal.

Investasi Tiongkok Belum Bebas Masalah

Policy Strategist Yayasan Indonesia CERAH, Naomi Devi Larasati mengungkapkan, Tiongkok memang pemain besar di sektor energi terbarukan. Kolaborasi dengan Tiongkok menjadi langkah yang wajar dalam upaya Indonesia untuk mempercepat transisi energi. Namun, pada saat yang sama, investasi Tiongkok selama ini di Indonesia tidak sepenuhnya bebas masalah.

Trend Asia mencatat 93 kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia pada 2015–2023. Ini termasuk 21 korban jiwa di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Selain itu, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHI) dilaporkan menyebabkan pencemaran udara akibat PLTU captive yang digunakannya. Hsal tersebut mengakibatkan peningkatan kasus ISPA dari 735 kasus pada 2021 menjadi lebih dari 1.100 pada 2023.

Menurut Naomi, isu-isu ini perlu ditangani jika ingin terus melanjutkan investasi Tiongkok di sektor mineral kritis dan baterai nikel di Indonesia. Negara ini juga perlu memastikan bahwa investasi Tiongkok benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Khususnya di sekitar lokasi industri, bukan hanya keuntungan ekonomi bagi pemerintah pusat.

“Hal ini mencakup penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, alih teknologi dan keterampilan, serta kepatuhan terhadap standar ESG,” tegas Naomi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top