Tren Green Sukuk Didominasi Milenial, Cerminan Sadar Lingkungan?

Reading time: 2 menit
Insentif mitigasi perubahan iklim di Kaltim harus dikelola secara transparan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkap, keberhasilan green sukuk ritel Indonesia didominasi generasi milenial. Hal ini mencerminkan peningkatan kesadaran akan lingkungan dan keberlanjutan.

Penerbitan green sukuk pertama di pasar global tahun 2018. Awareness dari investor mengalami peningkatan seiring kenaikan partisipasinya. Adapun peningkatannya yaitu 29 % (tahun 2018 dan 2019), 34 % (2020) dan 57 % (2021). Sementara, dalam green sukuk pasar domestik, generasi milenial mendominasi sebaran investor green sukuk ritel dalam 3 kali penerbitannya dengan rata-rata mencapai 43 %.

“Ini mencerminkan investor instrumen ini (generasi milenial) menaruh fokus lebih tinggi akan dampak investasi terhadap lingkungan dan keberlanjutan dibanding keuntungan finansial semata,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Rabu (22/2).

Pemerintah melalui komitmennya dan sesuai amanat Paris Agreement tahun 2016 mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29 % pada tahun 2030. Oleh karena itu pemerintah melakukan terobosan dengan menerbitkan instrumen bond berkonsep sukuk hijau atau green sukuk.

Penerbitan green sukuk sejak tahun 2018 bertujuan untuk menutup celah pembiayaan iklim menuju target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar US$ 322 miliar.

Green sukuk merupakan Surat Berharga Negara (SBN) syariah pertama di dunia yang mengedepankan konsep program pembiayaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan. Inovasi pembiayaan hijau (green financing) ini untuk mendukung komitmen pemerintah dalam menanggulangi perubahan iklim.

Green Sukuk untuk Pembiayaan Proyek-Proyek Hijau

Mengutip laman Indonesia.go.id, hasil dari seluruh penerbitan ini untuk membiayai proyek-proyek hijau (eligible green projects) baik dalam bentuk pembiayaan baru (new financing) atau pembiayaan lanjutan (refinancing).

Proyek-proyek hijau yang mendukung pengurangan emisi karbon dan perubahan iklim serta aksi mitigasi merupakan proyek yang dapat pembiayaan dari green sukuk ini. Proyek hijau lainnya adalah keanekaragaman hayati, transportasi berkelanjutan dengan pengembangan lebih ramah lingkungan, pertanian hijau, serta pariwisata hijau.

Lebih jauh Luky menyebut, green sukuk telah diterbitkan tujuh kali dengan total penerbitan US$ 4,2 miliar. Rinciannya empat penerbitan di pasar global dengan total US$ 3,5 miliar dan tiga di pasar ritel domestik dengan total IDR 11,8 triliun.

Riset United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2020 yang menganalisis dampak, risiko, tantangan serta kesempatan dan prospek green sukuk di pasar domestik Indonesia, menemukan adanya pertumbuhan kesadaran dan kepedulian investor terhadap konsep lingkungan, sosial dan tata kelola (LST).

“Sebanyak 65 % responden menyatakan pentingnya LST. Hal ini memberikan sinyal bahwa pemerintah Indonesia, melalui keterlibatan generasi muda, telah memiliki basis investor yang berkembang dan kuat untuk investasi yang berdampak dan berkelanjutan,” papar Luky.

Dorong Lingkungan Berkelanjutan

Sementara Manajer Divisi Riset Ekonomi Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana menyatakan, green sukuk sangat potensial bagi investor global. Para investor ini lebih aware terhadap sektor Environmental Social Governance (ESG).

Selain itu, nilai tambah dari sukuk ini secara fundamental lebih baik daripada instrumen atau sukuk yang bersifat konvensional. “Gabungan antara sukuk dan konsep green ini bagus. Sukuk risikonya lebih rendah, lalu adanya konsep green secara etika juga sangat potensial,” ucapnya.

Ia menyebut, Indonesia sangat berpotensi untuk keberlanjutan green sukuk ini. Hal ini bisa terlihat dari kekayaan alam di Indonesia, yakni berupa hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia.

Berdasarkan kerangka Hijau Indonesia, terdapat 9 sektor yang obligasi atau green sukuk biayai. Sektor tersebut antara lain energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, efisiensi energi, pariwisata hijau. Selanjutnya, ketahanan (resilience) terhadap perubahan iklim, bangunan hijau, transportasi berkelanjutan. Berikutnya, pertanian berkelanjutan dan pengelolaan limbah dan energi limbah.

Namun, ia menyebut kontribusi sukuk masih sangat kecil dalam Surat Utang Negara (SUN) di dalam negeri. Nilainya sekitar 7 %. Namun, karena Indonesia merupakan green global sukuk pertama di dunia maka masih berpeluang besar.

“Dibanding negara-negara lain, (angka) kita masih jauh lebih baik, jadi masih ada peluang besar,” ujarnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top