Jakarta (Greeners) – Di sela KTT Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, Korea Selatan resmi bergabung dengan Powering Past Coal Alliance (PPCA), aliansi global yang mendorong peralihan dari PLTU batu bara ke energi bersih. Langkah Korea Selatan untuk meninggalkan energi kotor batu bara menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.
Komitmen Korea Selatan dalam aksi iklim ini akan menempatkan negara tersebut pada jalur untuk menghentikan operasional 41,2 gigawatt (GW) kapasitas PLTU batu bara, yang selama ini menyumbang sekitar 60% emisi sektor ketenagalistrikannya atau setara dengan 156 MtCO2e. Negara tersebut menargetkan kenaikan porsi energi surya dan angin sebesar 21,6% pada tahun 2030.
Korea Selatan menjanjikan untuk menghentikan operasional 40 dari 62 unit PLTU paling lambat pada 2040. Sementara 22 unit sisanya ditentukan ekonomi dan diskusi publik, dengan rencana yang baru akan dijadwalkan tahun 2026.
Direktur Pelaksana Energy Shift Institute (ESI), Putra Adhiguna mengatakan bahwa pemasok batu bara seperti Indonesia dan Australia, yang menghadapi penurunan impor batu bara China harus mempertimbangkan dengan matang ketergantungan mereka pada komoditas tersebut seiring dengan percepatan transisi energi.
BACA JUGA: Presiden Baru, Apakah Amerika Segera Tinggalkan Energi Kotor?
“Sebagai kekuatan industri utama di Asia, meningkatnya komitmen Korea Selatan memberikan sinyal yang jelas bagi kawasan ini,” kata Putra dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/11).
Sementara itu, Korea Selatan saat ini juga tercatat sebagai negara dengan kapasitas PLTU batu bara terbesar ke-7 di dunia. Sebagian besar kebutuhan batu bara untuk pembangkit Korea Selatan dipenuhi dari impor. Bagi Indonesia, Korea Selatan masuk dalam lima besar negara tujuan ekspor batu bara. Bahkan, Indonesia menjadi pemasok utama batu bara thermal ke Negeri Gingseng.
Keanggotaan Korea Selatan di PPCA berpotensi menurunkan permintaan terhadap batu bara thermal sebesar 25 juta ton. Mengutip data Kpler, Korea Selatan akan mengimpor batu bara mencapai lebih dari 22 juta ton. Nilainya sebesar USD 1,7 miliar per tahun.
Peluang Akselerasi Transisi Energi
Penurunan permintaan batu bara dari Korea Selatan tidak hanya menggerus pendapatan eksportir. Namun, juga menekan daerah-daerah penghasil batu bara yang selama ini menjadikan komoditas tersebut sebagai sumber pendapatan utama.
Selain itu, keputusan Korea Selatan juga akan menciptakan tekanan tambahan bagi industri batu bara di tanah air yang selama ini bergantung pada pasar ekspor. Penurunan permintaan jangka panjang dari negara maju, termasuk Korea Selatan ini telah mengubah peta risiko bisnis perusahaan batu bara domestik.
Policy Strategist Coordinator CERAH, Dwi Wulan Ramadani menilai dengan bergabungnya Korea Selatan dengan PPCA menjadi sinyal kuat bahwa era batu bara global mulai memasuki fase akhir. Hal ini akan menjadi titik balik bagi arah bisnis batu bara Indonesia.
“Ketika negara seperti Korea Selatan mulai menargetkan penghentian PLTU batu bara, perusahaan batu bara nasional harus bersiap menghadapi penurunan permintaan struktural dari pasar internasional,” ujar Dwi.
BACA JUGA: Ribuan Pelobi Industri Fosil di COP30: Khawatir Kebijakan Iklim Melemah
Tidak hanya Indonesia, langkah Korea Selatan juga berpotensi mengancam tatanan regional di negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Filipina. Negara-negara ini masih bergantung kepada batu bara serta impor teknologi, peralatan, dan pembiayaan dari Korea Selatan untuk PLTU.
Tekanan finansial dan diplomatik juga akan terjadi. Investor Korea diperkirakan akan menarik diri dari proyek-proyek batu bara baru dan mengalihkan investasinya ke energi terbarukan.
Dwi menambahkan, penurunan konsumsi batu bara negara maju bisa menjadi peluang untuk mengakselerasi transisi energi dan pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia. Hal itu bisa terwujud melalui mekanisme pembiayaan transisi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Sekaligus menarik investasi energi bersih seperti PLTS skala besar dan infrastruktur transmisi hijau. Tekanan pasar dari negara mitra dagang juga memperkuat urgensi diversifikasi ekonomi daerah tambang dan penguatan kebijakan energi bersih,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































