Jakarta (Greeners) – Ketua Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2) dalam proses penyusunan Perjanjian Global Plastik, Luis Vayas Valdivieso merilis draft text terbaru pada 15 Agustus 2025. Draft text tersebut memuat beberapa kemajuan, namun masih belum menjawab akar permasalahan krisis plastik.
Kemajuan tersebut antara lain mandat Resolusi UNEA 5/14 untuk mengatur seluruh siklus hidup plastik, kembalinya rujukan chemicals of concern pada Artikel 4, dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat di beberapa bagian.
Selain itu, pasal terkait dampak pencemaran plastik di lingkungan pada Artikel 8 juga tidak bersifat mengikat. Kemudian, ada ketentuan pemungutan suara (voting) pada pertemuan para pihak (COP), serta mekanisme pembiayaan baru juga dimuat ke dalam draf teks.
Namun, secara keseluruhan, teks terbaru ini masih jauh dari memadai untuk melindungi kesehatan manusia dan menghentikan pencemaran plastik. Sebab, tidak menekankan isu produksi plastik primer dan bahan kimia plastik.
Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengungkapkan bahwa produksi plastik primer dan bahan kimia plastik saat ini sudah melebihi batas daya dukung planet. Bahkan, bisa memengaruhi kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki.
“Draft terbaru ini masih belum cukup kuat untuk melindungi kesehatan publik, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan umat manusia,” kata Yuyun dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/8).
Yuyun berharap para delegasi tidak menerima begitu saja draft yang ada sekarang. Mereka harus tetap berkomitmen untuk mengurangi pencemaran plastik demi masa depan anak-anak dan generasi mendatang.
Sampai saat ini, masih tersisa 14 halaman dan 120 tanda kurung yang menandakan perbedaan pendapat antarnegara. Teks ini juga menunjukkan kelemahan mendasar. Di antaranya tidak adanya pasal khusus tentang pengurangan produksi plastik. Kemudian, tidak menyebut keterkaitan plastik dengan krisis iklim maupun prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Draf Perjanjian Plastik Belum Mengatur Sistem Guna Ulang
Selama pertemuan tingkat menteri (Ministerial Meeting) tiga hari di Jenewa, para menteri juga berkesempatan mengunjungi fasilitas guna ulang. Namun sayangnya, draft terbaru ini tetap tidak memuat aturan atau sistem yang jelas untuk membantu dan mendorong masyarakat beralih dari plastik ke pilihan yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya ke produk guna ulang atau isi ulang.
Deputy Director Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara menilai bahwa saat ini belum terlihat adanya perkembangan signifikan pada pasal yang mengatur reuse atau refill sebagai sistem tersendiri yang mengikat.
Padahal, menurutnya praktik guna ulang kini telah berkembang pesat di berbagai negara. Inisiatif ini juga bisa menciptakan lingkungan yang lebih sehat, lapangan kerja baru, dan memberikan nilai ekonomi bagi negara.
“Karena krisis plastik global tidak bisa lagi ditunda penanganannya. Kami mendesak agar treaty ini segera disepakati dengan mengenali dan mendukung perkembangannya,” tegas Rahyang.
Di sisi lain, saat ini juga masih banyak pasal yang berpotensi tidak mengikat tergantung pada pilihan kata “shall” atau “should”. Terdapat juga berbagai klausul pengecualian seperti “as appropriate” atau “taking into account national capacities”.
Selanjtunya, pada bagian lampiran, terdapat ketentuan yang justru membatasi kemungkinan penguatan instrumen di masa depan (Pasal 23.3a). Kemudian, tidak ada ketentuan mengenai negara non-pihak.
Bagi AZWI, penundaan proses negosiasi perjanjian global plastik ini mencerminkan kebuntuan dalam negosiasi akibat lemahnya kepemimpinan Chair. Selain itu, juga menunjukkan kurangnya komitmen sejumlah negara untuk menyepakati langkah-langkah ambisius. Hingga saat ini, negosiasi belum dilanjutkan dan akan diperpanjang 1-2 hari.
AZWI mendesak negara-negara untuk menunjukkan kepemimpinan nyata dengan memperjuangkan pengurangan produksi plastik secara global. Mereka meminta agar negara-negara melindungi kesehatan publik dari bahan kimia beracun. Kemudian, penting untuk emastikan perjanjian ini memprioritaskan pencegahan pencemaran, bukan sekadar daur ulang.
Tanpa langkah-langkah ambisius tersebut, perjanjian ini akan gagal menjawab akar krisis plastik dan hanya memperpanjang dampaknya bagi generasi mendatang.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































