Walhi Kritisi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

Reading time: 2 menit
Walhi mengkritisi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Foto: Walhi
Walhi mengkritisi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Pada Oktober 2025, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi memasuki satu tahun masa kepemimpinan di Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi berbagai kebijakan dan program pemerintahan Prabowo-Gibran yang merusak prinsip-prinsip keadilan ekologis.

Menurut Walhi, satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan arah demokrasi yang semakin menjauh dari semangat konstitusi. Ambisi memperkuat militerisme tampak dalam berbagai kebijakan dan praktik kenegaraan. Salah satunya terlihat melalui pengesahan revisi Undang-Undang TNI yang memperluas peran militer di ruang sipil.

Walhi juga menilai pemerintahan ini melanjutkan pola tata kelola sumber daya alam yang bersifat ekstraktif, warisan dari rezim sebelumnya. Pola tersebut mengabaikan hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.

BACA JUGA: Risiko Besar bagi Kehidupan Masyarakat Adat di Balik Pelepasan Hutan Merauke

Direktur Eksekutif Walhi, Even Sembiring, menyebut bahwa satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran diwarnai situasi yang menakutkan bagi masa depan Indonesia. Target pertumbuhan ekonomi 8% mendorong negara semakin menggenjot investasi, khususnya di sektor ekstraksi sumber daya alam. Pilihan arah ekonomi yang kapitalistik justru menempatkan rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis.

“Hal ini kian parah dengan pendekatan represif dan militeristik. Bermula dari pengesahaan perubahan UU TNI dan berlanjut ke beragam situasi represif lainnya,” ujar Even di Jakarta, Selasa (14/10).

Kebijakan-kebijakan yang bersifat represif, tidak berpihak pada keberlanjutan, dan memicu bencana ekologis menunjukkan arah pemerintahan yang abai terhadap hak rakyat dan masa depan lingkungan hidup.

Catatan Penting untuk Prabowo-Gibran

Sementara itu, sejumlah eksekutif daerah Walhi juga menyampaikan catatan penting untuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari Sumatra Barat, visi yang diusung dinilai belum sejalan dengan rencana yang telah disampaikan sebelumnya.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatra Barat, Wengki Purwanto, menjelaskan bahwa strategi atau program prioritas seperti pengembangan swasembada pangan, air, energi, serta kawasan komunitas unggulan menjadi bagian dari visi Prabowo-Gibran di Sumatra. Program tersebut diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Sumatra hingga 7,2% pada tahun 2029.

Namun, dalam satu tahun berjalan, Walhi menilai pemerintahan Prabowo-Gibran gagal memastikan pemulihan hak-hak rakyat dan lingkungan melalui penegakan hukum. Pemerintah juga belum mampu melindungi ekosistem esensial seperti sumber air dan kawasan pangan.

“Mustahil, ekonomi rakyat kuat, jika ruang semakin menyempit, kawasan pangan hancur dan sumber air tercemar. Satu tahun RPJMN berjalan, kita justru bergerak lebih cepat ke arah Indonesia Cemas 2045,” kata Wengki.

Serukan Perubahan Paradigma Pembangunan

Senada dengan Wengki, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka, menyatakan bahwa satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan arah pembangunan yang berpihak pada investasi dan korporasi besar. Arah kebijakan tersebut tidak berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kepentingan rakyat.

Menurut Wahyu, di balik narasi “kemandirian energi” dan “pertumbuhan hijau”, pemerintah justru melanjutkan ekonomi ekstraktif di Pulau Jawa melalui proyek waste to energy, PLTU batu bara, co-firing biomassa, dan giant sea wall. Proyek-proyek tersebut baginya telah merusak hutan, pesisir, dan ruang hidup rakyat.

BACA JUGA: Walhi Lahirkan Kepemimpinan Baru, Tegaskan Perlawanan Ekonomi Ekstraktif

“Walhi Region Jawa menilai, transisi energi yang dijanjikan hanyalah kedok bagi kelanjutan energi kotor. Tahun pertama rezim ini bukan masa pemulihan ekologis, melainkan masa akumulasi krisis dan konsolidasi kekuasaan fosil di bawah selubung hijau semu,” ujar Wahyu.

Kendati demikian, Walhi menyerukan perubahan paradigma pembangunan, dari eksploitasi menuju pemulihan, dari retorika semu menuju keadilan sejati yang berpihak pada rakyat dan bumi.

Mereka menilai bahwa selama arah kebijakan masih didikte oleh kepentingan modal dan logika pertumbuhan ekonomi, komitmen terhadap keadilan dan keselamatan hanya akan menjadi retorika diplomatik. Retorika itu menutupi kenyataan bahwa krisis di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis. Krisis tersebut merupakan hasil dari ketimpangan struktural dan politik yang terus dipelihara.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top