Kepulauan Sangihe merupakan salah satu pulau yang memiliki ragam fauna yang sangat kaya. Ada banyak hewan endemis di sana. Salah satunya adalah bajing kelapa sangihe (Prosciurillus rosenbergii) yang mendiami Gunung Sahendaruman, tepatnya di Kampung Menggawa II dan Kampung Belengan.
Dalam bahasa lokal, hewan itu disebut tumpara. Bajing ini merupakan salah satu dari tiga jenis tupai di Pulau Sangihe yang memiliki keunikan luar biasa.
Tubuhnya warna putih, bersih, dan cantik. Hewan ini memiliki kondisi genetik yang unik, yaitu albino dan leucistic. Penyebabnya adalah mutasi genetik yang memengaruhi produksi melanin, pigmen yang memberikan warna pada kulit, bulu, dan rambut. Kedua kondisi ini menyebabkan hewan memiliki warna yang lebih pucat daripada individu normal. Namun, ada perbedaan mendasar antara keduanya.
Hewan albino sama sekali tidak memiliki pigmen melanin, sehingga kulit, bulu, atau rambutnya berwarna putih, dan matanya berwarna merah muda atau merah. Sementara, hewan leucistic mengalami pengurangan pigmen, tapi tidak seluruhnya hilang. Mereka biasanya memiliki warna yang lebih pucat, tapi memiliki sedikit pigmen warna. Mata hewan leucistic umumnya berwarna normal.
Namun, keberadaan mereka di masyarakat setempat, khususnya generasi tua, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang mistis. Mereka percaya bahwa bajing albino atau leucistic adalah hewan jadi-jadian atau jelmaan manusia.
Burung Indonesia melansir bahwa hewan ini membawa pertanda buruk jika seseorang bertemu dengannya di hutan. Sehingga, kebanyakan orang akan memilih berbalik arah atau mencari jalan lain. Sisi positifnya, kawasan hutan tempat hewan ini tinggal dianggap keramat sehingga jarang dirusak oleh manusia.
Bagaimana Fenomena Albino dan Leucistic Terjadi?
Kondisi albino dan leucistic merupakan mutasi genetik bersifat resesif. Artinya, kedua induk harus membawa gen mutasi agar keturunannya lahir dengan kondisi tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan hewan indukan membawa gen mutasi di antaranya adalah kondisi isolasi geografis, seperti yang terjadi pada pulau-pulau kecil.
Pulau kecil seperti Sangihe sering menjadi rumah bagi spesies unik dengan karakteristik genetik khas. Isolasi geografis ini mempercepat proses evolusi dan meningkatkan kemungkinan munculnya variasi genetik, termasuk kondisi albino dan leucistic. Selain itu, perkawinan sedarah (inbreeding) di populasi kecil juga meningkatkan kemungkinan lahirnya individu dengan kondisi genetik langka ini.
Meskipun terlihat cantik dan unik serta keramat di Pulau Sangihe, hewan albino dan leucistic masih menghadapi ancaman dan kerentanan yang lebih besar dibandingkan dengan individu normal. Warna mereka yang mencolok membuat mereka lebih sensitif terhadap sinar matahari dan mudah terlihat oleh predator, seperti ular, elang, dan burung hantu. Selain itu, mereka juga sering menjadi korban rundungan. Bahkan, mereka juga dikucilkan oleh kelompoknya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































