Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai kreatif di depan halaman kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui sebuah penampilan teatrikal, aktivis Greenpeace Indonesia dan sejumlah anak muda Papua menyuarakan perjuangan masyarakat adat yang wilayah kehidupannya terampas atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) Tebu Merauke.
Para aktivis mendirikan sebuah instalasi seni berbunyi “STOP PSN” yang mereka bangun menggunakan banner dan batang tebu daur ulang. Aktivis yang hadir juga membawa banner dengan pesan terkait penghentian PSN.
Aksi ini untuk menolak deforestasi besar-besaran di Merauke. Ancaman yang baru-baru ini secara gamblang dipromosikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat percepatan pembangunan Papua pada Selasa, 16 Desember lalu. Di depan kepala daerah se-Papua, Prabowo membeberkan keinginan untuk ekspansi kebun sawit, tebu, dan singkong di Papua untuk ketersediaan bahan bakar minyak dan bioetanol.
Menurut Greenpeace, ucapan sumbang Presiden itu ironis, mengingat sebagian Pulau Sumatra masih lumpuh dilanda krisis iklim dan bencana ekologis akibat deforestasi besar-besaran. Terpaan bencana ekologis di Indonesia bagian barat ternyata belum menggugurkan ambisi pemerintah. Pemerintah masih mengejar solusi palsu yang berpotensi mengorbankan bentang alam di timur Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba mengatakan bahwa PSN Tebu Merauke merupakan proyek deforestasi terbesar di dunia saat ini. Proyek ini memiliki potensi kerusakan ekosistem kunci yang sangat besar di ekoregion Papua bagian selatan.
“Kita baru saja menyaksikan besarnya dampak krisis iklim dan kerusakan ekologis terjadi di Sumatra akibat deforestasi besar-besaran dalam beberapa dekade terakhir. Bencana serupa berpotensi sangat besar mengintai Papua, jika pemerintah masih bersikeras mengejar ambisi ketahanan pangan dan energi dengan cara merusak alam,” ujarnya.
Konsesi Seluas Pulau Bali
Vincen Kwipalo, Masyarakat Adat Yei, juga turut bergabung dalam aksi damai ini. Minggu lalu, ia dipanggil dan menjalani pemeriksaan sebagai pelapor atas dugaan tindak pidana perkebunan dan perampasan wilayah adat Marga Kwipalo oleh PT MNM.
Ia mengungkapkan bahwa kini pemerintah hanya ingin mengejar pembangunan tanpa melihat dampaknya bagi masyarakat adat di Merauke. Pembangunan dari pemerintah ini justru membuat masyarakat adat menderita.
“Pemerintah bilang mau fokus ke pembangunan, tetapi mereka tidak melihat nasib masyarakat adat yang tanahnya digusur. Mau mereka ke manakan kami ini? Kehadiran perusahaan di kampung juga malah melahirkan konflik horizontal, tapi pemerintah tidak melihat itu toh?” kata Vincen.
Cerita Vincen dan warga Merauke yang terdampak PSN lainnya juga terangkum dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia. Laporan bertajuk ‘Kenyataan Pahit di Balik Janji Manis PSN Tebu Merauke’ itu rilis pekan ini.
Dalam laporan tersebut, Greenpeace Indonesia menemukan konsesi seluas 560.000 hektare yang telah pemerintah tetapkan untuk proyek perkebunan tebu di Merauke. Konsesi tersebut luasnya sebesar Pulau Bali. Dari total luas konsesi di atas, 419.000 hektare di antaranya adalah hutan alam. Sementara, lahan lainnya merupakan lahan basah seluas 83.000 hektare dan sabana seluas 34.000 hektare.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra menyatakan bahwa proyek raksasa yang dipromosikan sebagai jalan pintas menuju swasembada gula dan energi terbarukan (bioetanol E10) ini sebagai solusi palsu.
“Mengejar pemenuhan bioetanol dari Merauke justru mendorong konversi hutan alam skala besar. Ambisi mengejar energi terbarukan malah akan meningkatkan emisi dan menggeser fokus dari perbaikan produksi gula petani,” kata Refki.
Refki menambahkan, PSN Tebu ini adalah salah satu bentuk nyata praktik kolonial politik tanah kosong di Papua. Mereka telah menukar keanekaragaman hayati dan ruang hidup masyarakat adat dengan bahan bakar nabati.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































