Delapan Dekade Indonesia Merdeka, Sejauh Mana Ambisi Transisi Energi Terealisasi?

Reading time: 8 menit
Delapan dekade Indonesia merdeka, ambisi transisi energi belum terealisasi penuh. Foto: Greeners
Delapan dekade Indonesia merdeka, ambisi transisi energi belum terealisasi penuh. Foto: Greeners

Selama 80 tahun merdeka, Indonesia terus berupaya melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Beragam proyek energi bersih mulai bermunculan di berbagai daerah.  Namun, di balik geliat ini, tak sedikit konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat. Artinya, transisi energi bukan hanya soal teknologi dan target, tapi juga soal cara pemerintah berkomunikasi dan melibatkan masyarakat dalam setiap langkahnya.

Jakarta (Greeners) – Dampak krisis iklim yang kian terasa memaksa banyak negara, termasuk Indonesia, mencari cara menekan emisi gas rumah kaca. Secara politik dan kebijakan, arah menuju energi terbarukan memang mulai terlihat, dengan target-target ambisius. Namun, realisasi di lapangan masih penuh tantangan.

Satu dekade lalu, target energi bersih belum sebesar sekarang dan regulasinya masih minim. Kini, berbagai proyek energi terbarukan mulai bermunculan, baik yang sudah beroperasi maupun masih dalam tahap perencanaan. Meski begitu, penolakan masyarakat atas proyek-proyek tersebut justru semakin sering terdengar. Hal ini menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam proyek transisi energi masih belum optimal.

Organisasi masyarakat sipil seperti Trend Asia dan Recourse melalui laporan “Mengandalkan Energi Terbarukan” menekankan pentingnya melibatkan masyarakat lokal, kelompok rentan, perempuan, dan pemuda dalam pengambilan keputusan. Partisipasi mereka penting untuk mencegah konflik sosial, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi bagi komunitas lokal.

BACA JUGA: Pendanaan Batu Bara oleh Perbankan Indonesia Tembus US$ 7,2 Miliar

Transisi energi tak bisa hanya dinilai dari sisi teknologi dan kebijakan. Perlu pendekatan yang lebih terbuka dan partisipatif. Pemerintah juga harus mau berdialog dan mendengarkan suara masyarakat.

Di usia kemerdekaan ke-80 ini, Greeners menyoroti kembali ambisi transisi energi oleh pemerintah. Harapannya, ambisi transisi energi ini tidak sekadar menjadi slogan, melainkan menjadi jalan keluar dari krisis iklim dan membawa keadilan energi untuk seluruh rakyat Indonesia.

Perkembangan Transisi Energi 

Bicara soal energi bersih seperti terdengar baru dan penting dalam kondisi krisis iklim yang semakin parah ini. Padahal, topik transisi energi ini sebenarnya bukan cerita baru. 

Pada 2012, tepat di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-67, Greeners pernah menerbitkan majalah berjudul “Berapa Lama Energi Fosil Bertahan?”. Tulisan itu berisikan sebuah peringatan mengenai cadangan energi fosil Indonesia sudah lampu kuning.

Saat itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggalakkan program hemat energi. Salah satu langkahnya adalah mengurangi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mobil-mobil instansi pemerintah. 

Data ESDM tahun 2012 menunjukkan, konsumsi energi nasional naik 7% setiap tahun, sementara cadangan minyak, batu bara, dan gas terus menipis. Kalaupun ada cadangan baru, butuh waktu setidaknya 15 tahun untuk siap pakai.

Prediksinya waktu itu cukup mengkhawatirkan. Pada 2019, Indonesia berisiko harus membeli 100% kebutuhan energi dari luar negeri. Padahal, pada 2012, listrik baru mengalir ke sekitar 70% wilayah di Indonesia.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) pada tahun 2012, Kardaya Warnika, menyebut penghematan sebagai langkah awal yang paling cepat untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis energi. Namun, Kardaya juga mengakui, peta jalan energi kita sering berubah-ubah. Akibatnya, pekerjaan rumah di sektor energi menumpuk tak terselesaikan.

Sementara itu pada 2011, subsidi energi fosil sudah tembus Rp134 triliun. Ironisnya, penikmat subsidi lebih banyak dari  kalangan menengah ke atas. Isu kenaikan harga BBM pun sempat memanas, dengan harga solar di banyak wilayah pesisir melonjak.

Di tengah kondisi itu, organisasi lingkungan 350.org mengampanyekan pencabutan subsidi energi fosil, dan mengalihkannya ke subsidi energi hijau. Menurut mereka, lonjakan harga akibat pencabutan subsidi BBM bisa ditekan jika energi terbarukan benar-benar disiapkan untuk menggantikan bensin dan solar, terutama di sektor transportasi dan konsumsi rumah tangga.

Penanggung jawab perawatan panel surya Masjid Al Muharram Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Agung sedang membersihkan panel surya. Foto: Faiz Ahmad Iftikhar / Greeners

Penanggung jawab perawatan panel surya Masjid Al Muharram Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Agung sedang membersihkan panel surya. Foto: Faiz Ahmad Iftikhar / Greeners

Bagaimana Ambisi Transisi Energi di Indonesia Sekarang? 

Jika menengok kembali, pada 2012 sudah ada peringatan bahwa cadangan energi fosil makin menipis, sementara konsumsi terus naik. Harapan besar pun ada pada energi terbarukan. Satu dekade lebih berlalu, target demi target terpasang. Pada 2021, pemerintah bahkan optimistis bisa mencapai bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.

Namun, kenyataannya, angka itu tak kunjung tercapai. Hingga akhir 2024, capaian baru menyentuh 14 persen. Target pun turun menjadi 17–20 persen. Alasannya, performa tahun-tahun sebelumnya jauh di bawah harapan. Revisi ini muncul dalam rancangan perubahan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang hingga kini masih dalam pembahasan.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan menegaskan target 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Kemudian, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, juga bicara soal strategi menuju Net Zero Emission pada 2060. Strategi tersebut memastikan listrik tak hanya bersih, tapi juga terjangkau, dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang tersebar di seluruh negeri.

BACA JUGA: Jangan Anggap Biasa Cuaca Ekstrem, Ini Alarm Krisis Iklim

Ia mengungkapkan, pemerintah punya rencana besar membangun Nusantara Grid, yaitu jaringan listrik yang menghubungkan pulau-pulau besar. Dengan demikian, pusat industri bisa mengakses listrik hijau. Ada pula dorongan penggunaan kendaraan listrik, termasuk insentif konversi motor yang naik jadi Rp 10 juta, dan kampanye penggunaan kompor induksi untuk mengurangi ketergantungan pada LPG.

Timbul Kerusakan di Balik “Energi Bersih”

Di atas kertas, komitmen pemerintah tampak seperti megah. Namun, di lapangan, transisi energi yang sering pemerintah gaungkan tidak selalu berjalan mulus. Sebaliknya, ada banyak proyek yang membawa nama “energi bersih” tapi meninggalkan persoalan baru. 

Contoh paling nyata adalah kendaraan listrik. Memang benar tujuannya menekan emisi, tapi baterainya membutuhkan nikel. Penambangan nikel ini telah merusak alam di pulau-pulau Indonesia. 

Pulau Obi, Kabaena, Wawonii, sampai Gebe sudah merasakan dampak kerusakan dari tambang nikel. Bahkan, masih ada pulau-pulau kecil di Indonesia yang hancur akibat aktivitas pertambangan nikel. Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Rahma Wardhana mengungkapkan bahwa tata kelola dari pertambangan nikel ini masih bermasalah. Keuntungan tidak maksimal, praktik ilegal banyak, sementara lingkungan terus jadi korban. 

“Keadilan itu belum muncul, karena ditopang oleh kerusakan lingkungan yang tidak diperhatikan,” ujarnya. Bahkan, rencana tambang di Raja Ampat yang sempat ramai, baru bisa dihentikan setelah ada tekanan besar dari organisasi lingkungan.

Menurut Ahmad, pola pembangunan seperti ini menunjukkan pemerintah masih terjebak pada orientasi pertumbuhan ekonomi dengan harapan efek positifnya akan menetes ke masyarakat (trickle-down effect). Padahal, kenyataannya dampak itu tidak otomatis sampai ke warga. Karena itu, ia menekankan pentingnya desentralisasi energi agar manfaatnya bisa langsung masyarakat rasakan, bukan hanya segelintir pihak.

Selain itu, perlu untuk mencermati masalah di sektor transportasi. Pemerintah cenderung mendorong kendaraan pribadi, termasuk di era listrik. Pemerintah lebih mempromosikan mobil dan motor listrik ketimbang transportasi umum listrik yang lebih adil dan ramah lingkungan. Akibatnya, permintaan baterai melonjak dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan baru.

Bagi Ahmad, transisi energi tidak boleh hanya mengejar teknologi, tapi juga harus memperhatikan keadilan. Ia menyoroti perlunya inovasi, seperti daur ulang baterai, agar lingkungan tidak terus jadi korban. Ke depan, ia juga melihat peluang dari sumber energi lain, seperti hidrogen atau mikroalga yang bisa jadi alternatif masa depan.

Warga di lereng Gunung Gede Pangrango menolak proyek geotermal yang masuk dalam PSN. Foto: Instagram @jatamnas

Warga di lereng Gunung Gede Pangrango menolak proyek geotermal yang masuk dalam PSN. Foto: Instagram @jatamnas

Gagal Membangun Dialog Sehat

Konflik transisi energi tidak hanya muncul dari tambang nikel untuk baterai kendaraan listrik, tapi juga dari proyek panas bumi atau geothermal. Pemerintah tengah gencar mendorong energi ini, bahkan memasukkannya dalam proyek strategis nasional (PSN). Namun, penolakan masyarakat terjadi di banyak tempat, seperti Poco Leok di Nusa Tenggara Timur sejak 2022 hingga lereng Gunung Gede Pangrango baru-baru ini.

Ahmad mengungkapkan bahwa potensi panas bumi di Indonesia memang sangat besar. Energi ini lebih ramah lingkungan ketimbang batu bara, karena hanya memanfaatkan panas dari magma untuk menghasilkan uap dan listrik. 

Geothermal juga bisa menjadi base load pembangkit stabil 24 jam, berbeda dengan tenaga surya atau angin yang tergantung cuaca (sifat intermittent). Selain listrik, geothermal sebenarnya punya banyak pemanfaatan langsung (direct use), misalnya untuk pertanian, budidaya perairan, rumah kaca, hingga industri makanan.

Namun, kata Ahmad, masalah muncul karena negara kerap memandang geothermal hanya sebagai proyek besar untuk listrik. Pendekatannya pun top-down, teknokratis, terburu-buru, dan berorientasi investasi. Akibatnya, masyarakat hanya melihat risiko seperti lahan hilang, air terganggu, pertanian terancam, tanpa pernah merasakan manfaat langsung.

“Jika proyek listrik dibangun di atas tanah mereka, tapi mereka sendiri tidak menikmati hasilnya, maka wajar jika muncul penolakan. Geothermal bukanlah solusi tanpa dampak, tapi dibandingkan energi fosil, dampaknya bisa jauh lebih kecil dan dapat dimitigasi. Jika masyarakat tidak setuju meski sudah dilakukan dialog dan kompensasi, maka proyek sebaiknya tidak dipaksakan.”

Buka Jalan Transisi Energi dari Dialog Terbuka

Menurut Ahmad, inti persoalan dari masalah proyek transisi energi terletak pada pendekatan dan komunikasi. Negara selama ini gagal membangun dialog yang sehat. Seharusnya, komunikasi berlangsung secara agonistik yaitu terbuka, jujur, dan mengakomodasi semua kepentingan, bukan sekadar meminta persetujuan cepat. Lakukan dialog berulang kali dengan bahasa yang mudah warga pahami, hingga mereka mengerti manfaat sekaligus risiko proyek.

“Seharusnya negara memperbesar biaya sosial dan mengurangi margin keuntungan, agar proyek-proyek energi seperti geothermal bisa lebih masyarakat terima,” ujar Ahmad. 

Selain itu, pendekatan restorative justice juga penting. Jika lahan masyarakat tergusur, harus ada kompensasi nyata. Pemerintah mengganti lahan yang setara atau melibatkan warga dalam pengelolaan geothermal. Dengan begitu, mereka bukan hanya menanggung beban, tapi juga mendapat manfaat langsung.

Bagi Ahmad, transisi energi yang adil hanya mungkin terwujud jika orientasi pembangunan bergeser dari state– dan corporate-centric menuju citizen-centric. Ia menekankan bahwa energi bukan sekadar proyek, tapi harus benar-benar menghadirkan keadilan sosial dan kebermanfaatan bagi masyarakat.

“Gencarkan juga pendidikan energi dasar agar masyarakat makin memahami transisi energi,” ungkapnya. 

Kekhawatiran Energi Panas Bumi

Di balik jargon energi bersih, proyek panas bumi di Indonesia juga memunculkan banyak kekhawatiran. Alih-alih memberi harapan baru, praktik di lapangan justru membuat masyarakat di sekitar lokasi proyek merasa terancam.

Ekspansi PLTP Ulumbu ke Poco Leok, NTT, misalnya, berpotensi menggerus ruang hidup warga dan merusak sumber air. Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, kebocoran gas H₂S di proyek panas bumi Sorik Marapi, Sumatera Utara, maupun Dieng, Jawa Tengah, sudah menelan korban jiwa dan membuat ratusan warga keracunan. Fakta ini menegaskan bahwa risiko panas bumi nyata dan sering kali masyarakat yang menanggungnya.

Masalah lain muncul dari kebutuhan air yang sangat besar. Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menjelaskan bahwa eksplorasi awal panas bumi memerlukan air jutaan liter setiap hari, mirip proses pengeboran minyak. 

“Air sengaja dimasukkan untuk menggerus tanah dan batu. Banyak kasus di mana airnya diambil dari sungai hingga sungai itu kering,” kata Beyrra.

Sebagai contoh, PLTP Ijen mengonsumsi sekitar 6,5 juta liter air per hari. Jumlah ini setara kebutuhan 43 ribu orang. Ironisnya, masyarakat yang menanggung air dan tanah yang rusak itu. Sementara, listrik dari panas bumi justru lebih banyak mengalir ke industri besar atau jaringan utama. Warga sekitar seringkali tetap gelap, mengandalkan genset atau listrik seadanya dari program CSR.

Selain itu, panas bumi juga bisa merusak pertanian. Suhu panas yang bocor membuat lahan sayur di sekitar gunung tidak bisa warga tanami. Sementara, pengeboran berpotensi memicu gempa kecil yang merusak rumah-rumah warga.

Energi panas bumi memang lebih ramah lingkungan ketimbang batu bara. Namun, jika pengelolaannya dengan cara seperti ini—top-down, serakah air, dan mengabaikan keadilan sosial maka label “energi bersih” terasa semu. 

“Transisi energi seharusnya menyelamatkan bumi dan manusia, bukan malah meninggalkan mereka dalam kerentanan baru.”

Kebijakan Tumpang Tindih

Semakin berkembangnya target dan regulasi soal transisi energi di Indonesia, Ahmad menilai bahwa dari segi kebijakan energi di Indonesia saat ini sudah cukup lengkap. Namun, permasalahannya adalah aturan-aturan itu justru tumpang tindih kewenangan. 

“Ada tiga masalah utama kenapa transisi energi atau mitigasi perubahan iklim itu masih sulit di Indonesia karena tumpang tindih kewenangan, aturan yang saling overlap, dan implementasi di lapangan yang tidak berjalan,” kata Ahmad. 

Ahmad juga menyoroti perencanaan terkait transisi energi yang tidak sinkron antara berbagai tingkatan regulasi. Ia mencontohkan, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) memiliki target ambisius dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, belum ada payung hukum di level peraturan pemerintah (PP) yang mengatur kebijakan energi nasional. 

PP tersebut, meski kabarnya telah mendapatkan persetujuan DPR sejak Februari, belum juga terbit. Hal ini menimbulkan potensi konflik antara aturan teknis yang sudah ada dan payung hukum yang belum final

Padahal, setelah penetapan PP, seharusnya ada revisi terhadap Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan selanjutnya Rencana Umum Energi Daerah (RUED) di tingkat provinsi. 

“Proses yang berbelit dan tidak serempak ini menunjukkan belum matangnya sistem perencanaan energi nasional secara struktural,” tambah Ahmad. 

Energi Terbarukan untuk Siapa?

Selama delapan dekade Indonesia merdeka, transisi energi bersih menjadi cermin apakah kita benar-benar telah merdeka dari ketergantungan pada energi kotor. Tantangan masih banyak, target terus dipasang, tapi di balik itu ada pekerjaan rumah besar. Pemerintah perlu memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya untuk angka dan investasi, melainkan untuk kemaslahatan masyarakat serta keselamatan bumi dari krisis iklim.

Beyrra mengingatkan bahwa persoalan kita hari ini adalah cara pandang yang setengah-setengah terhadap solusi energi. Sering kali, kita mengambil keuntungan dari satu sisi dengan mengorbankan yang lain, terutama masyarakat kecil. Minimnya keterbukaan dan kolaborasi antar sektor membuat keuntungan sebagian justru menjadi kerugian bagi pihak lain. 

Sementara itu, Bagi Ahmad, kemerdekaan seharusnya juga tercermin dalam transisi energi. Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi masyarakat dengan sistem yang lebih desentralistik. Dari sana, tumbuh ekonomi yang lebih inklusif, berkeadilan, sekaligus memperdalam pemahaman tentang apa itu transisi energi di tingkat akar rumput.

Harapan itu harus terus kita jaga, agar kemerdekaan tidak berhenti pada seremoni, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari. Sulit rasanya memaknai kemerdekaan bila masyarakat masih menjadi korban di ambisi proyek transisi energi. 

Setelah 80 tahun merdeka, masyarakat semestinya juga bisa bebas dari konflik, kehilangan ruang hidup, dan ancaman krisis iklim. Energi terbarukan seharusnya menjadi jalan bagi Indonesia menuju masa depan yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani 

Editor: Indiana Malia

Top