Dominasi Pelobi Industri Melemahkan Negosiasi Perjanjian Plastik Global

Reading time: 2 menit
Dominasi pelobi industri dapat melemahkan negosiasi perjanjian plastik global. Foto: Greenpeace
Dominasi pelobi industri dapat melemahkan negosiasi perjanjian plastik global. Foto: Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Perundingan perjanjian global tentang polusi plastik (INC‑5.2) kini sedang berlangsung di Jenewa, Swiss. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritisi dominasi pelobi dari industri bahan bakar fosil dan petrokimia dalam putaran kedua sesi kelima perundingan ini.

Berdasarkan analisis terbaru Center for International Environmental Law (CIEL), tercatat sedikitnya 234 pelobi industri hadir di ruang negosiasi. Angka ini menjadikan mereka kelompok non-pemerintah terbesar di dalam forum, melampaui banyak delegasi negara. Bahkan, beberapa blok negosiasi regional. Data ini berasal dari daftar partisipan yang dirilis UNEP dan diolah secara teliti baris demi baris oleh tim CIEL.

AZWI menilai, kehadiran masif pelobi industri ini menimbulkan kekhawatiran mendalam. Industri bahan bakar fosil dan petrokimia adalah aktor utama dalam rantai produksi plastik, dari ekstraksi minyak dan gas hingga pembuatan resin plastik.

Dengan posisi mereka yang strategis, upaya melobi dapat diarahkan untuk mempertahankan status quo, yaitu mendorong solusi teknis yang dangkal, melemahkan target pengurangan produksi, atau mengaburkan kewajiban hukum yang seharusnya mengikat.

Bagi masyarakat sipil internasional, temuan ini adalah alarm keras. AZWI menilai proses perundingan yang seharusnya memprioritaskan sains, kesehatan publik, dan keberlanjutan lingkungan bisa tergelincir jika kepentingan industri menguasai meja diskusi.

Mengingat polusi plastik adalah krisis multidimensi yang mengancam laut, tanah, udara, dan kesehatan manusia, setiap celah kompromi yang menguntungkan produsen plastik dapat berarti hilangnya momentum untuk perubahan sistemik.

Toxics Program Manager Nexus3 Foundation, Nindhita Proboretno mengecam dominasi pelobi industri dalam proses negosiasiINC-5.2 yang menggeser fokus dari upaya perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan.

“Kekuatan lobi  ini bukan hanya melemahkan komitmen global dan merugikan rakyat, melainkan juga membuka jalan bagi keuntungan korporasi,” kata Nindhita dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8).

Kebijakan Plastik Tunduk pada Industri

Nindhita juga menilai bahwa kebijakan plastik yang kerap tunduk kepada tekanan industri besar juga tercermin di Indonesia. Sehingga, upaya pembatasan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia berbahaya tersendat.

“Sementara, masyarakat terus menanggung beban pencemaran dan hak atas lingkungan hidup yang sehat terabaikan,” tambah Nindhita.

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia juga berada di garis depan dampak polusi plastik. Hal ini mencakup ekosistem laut maupun kesehatan manusia. Berdasarkan data registrasi UNEP, delegasi Indonesia tercatat berjumlah 42 orang.

Menurut Nindhita, hal ini menjadi modal penting untuk memperkuat posisi negosiasi dalam perundingan global. Ia menilai hasil perundingan harus ambisius demi mengurangi dampak buruk produksi plastik.

Ia menambahkan, jika perjanjian global menguntungkan industri, target pengurangan produksi plastik bisa menjadi lemah. Kemudian, negara seperti Indonesia akan menanggung beban polusi yang terus bertambah tanpa dukungan internasional yang memadai.

AZWI mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil posisi tegas dalam perundingan INC-5.2. Mereka meminta pemerintah untuk mendorong transparansi proses dan membatasi pengaruh industri yang memiliki konflik kepentingan.

Selain itu, AZWI juga mendesak pemerintah untuk memastikan perjanjian global memuat target pengurangan produksi plastik yang ambisius. Kemudian, perlu juga untuk menerapkan mekanisme pendanaan yang adil, serta perlindungan kesehatan publik.

Zero Waste Campaigner Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar juga menilai bahwa 234 pelobi dari perusahaan bahan bakar fosil yang hadir dalam perundingan perjanjian plastik global, mencemari harapan untuk hidup bebas dari polusi plastik.

“Sudah saatnya memberikan ruang yang luas dan adil bagi para masyarakat dan kelompok ilmuwan dalam proses perundingan perjanjian plastik global,” tegasnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top