Jakarta (Greeners) – Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menolak Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Menurutnya, kebijakan ini minim konsultasi publik dan membuka jalan bagi proyek insinerator mahal yang berisiko tinggi secara fiskal.
AZWI juga menilai kebijakan ini bertentangan dengan strategi nasional pengurangan sampah di sumber. Bahkan, tidak sejalan dengan mandat UU No.18 Tahun 2008. Selain itu, juga berpotensi menjerat keuangan negara melalui kontrak jangka panjang yang mahal, memperburuk pencemaran, hingga mengancam pencaharian jutaan pekerja informal.
Perpres yang digaungkan sebagai energi bersih dengan melibatkan PLN dan Danantara ini, justru ada skema subsidi semu yang tersembunyi. Hal tersebut berpotensi menguras hingga puluhan triliun rupiah selama 30 tahun ke depan.
Setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari juga dapat membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun. Sehingga, berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal (fiscal trap) melalui kontrak panjang.
Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi mengatakan bahwa perpres ini bukanlah solusi yang tepat. Namun, perpanjangan dari kegagalan Perpres No 35 Tahun 2018 yang terbukti kurang layak secara bisnis dan teknis.
“Versi baru ini justru meningkatkan tarif dan memperpanjang kontrak sehingga terkesan menguntungkan. Padahal, sebenarnya membebani keuangan PLN dan APBN serta menimbulkan risiko signifikan bagi lingkungan,” ujar Atha dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/10).
Menurut AZWI, Perpres ini juga tanpa melalui analisis kelayakan yang komprehensif dengan membandingkan PSEL dengan skenario pengelolaan sampah alternatif. Hal itu baik dari sisi pendanaan maupun kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan operasional pengelolaan sampah.
Anggaran Besar, Daerah Kewalahan
Anggaran besar untuk proyek ini justru bisa mengurangi kemampuan daerah mengelola sampah harian. Jika PSEL berjalan dengan menerapkan standar emisi dan keselamatan yang benar, biaya pengolahan per ton akan menjadi sangat mahal. Biayanya jauh melampaui kemampuan fiskal daerah yang rata-rata di bawah Rp500 ribu per ton.
Studi terbaru Universitas Wiralodra di Indramayu menunjukkan biaya ideal pengelolaan sampah mencapai Rp265.000–Rp308.000 per ton. Bahkan, bisa melonjak hingga Rp1 juta per ton untuk pengolahan intensif. Kesenjangan ini menandakan eksternalisasi biaya besar-besaran, serta beban lingkungan dan sosial yang masyarakat tanggung. Sementara, keuntungannya dinikmati segelintir pihak.
Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, menegaskan bahwa teknologi PSEL merupakan opsi paling mahal jika ingin memenuhi standar emisi rendah.
“PSEL membutuhkan investasi besar dan biaya operasional tinggi. Namun untuk insinerator, capex dan opex ditanggung oleh PLN atau disubsidi oleh pemerintah pusat. Meski demikian, sebagian besar pemerintah daerah masih kesulitan membiayai sistem pengumpulan sampah konvensional. Skema ini tetap berisiko mengunci anggaran publik dalam jangka panjang,” katanya.
Dari aspek teknis, mayoritas kota di Indonesia bahkan tidak memiliki timbulan sampah yang cukup untuk memenuhi kapasitas insinerator sebesar 1.000 ton per hari. Mayoritas timbulan sampah di Indonesia, lebih dari 60%, adalah sampah organik dengan kelembaban tinggi dan bernilai kalor rendah, tidak layak bakar.
PSEL Longgar
Sementara itu, pengawasan emisi dari sumber tidak bergerak, seperti PSEL di Indonesia juga sangat longgar dan nyaris simbolik. Tidak ada sistem pemantauan emisi dioksin, furan, dan logam berat yang berjalan secara kontinu dan transparan seperti yang disyaratkan di banyak negara.
Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengungkapkan bahwa peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang ada saat ini hanya mensyaratkan uji emisi dioksin dan furan, yang dikenal sebagai karsinogen, hanya lima tahun sekali.
Menurutnya, aturan ini akan sangat membahayakan publik. Sebab, dioksin dan furan bisa keluar kapan saja ketika suhu tungku turun atau bahan bakar tidak stabil.
“Tanpa pemantauan real-time dan akses data publik, PSEL berubah menjadi pabrik racun baru, bukan solusi pengelolaan sampah,” tegas Yuyun.
Pola Kegagalan Berulang
Dari sisi sosial, proyek-proyek serupa di Indonesia menunjukkan pola kegagalan yang berulang. Salah satunya PLTSa Putri Cempo di Solo yang mengalami hambatan investasi, konflik sosial, dan masalah teknis.
Direktur Yayasan Gita Pertiwi, Titik Sasanti mengatakan bahwa sejak awal pembangunan PLTSa Putri Cempo, suara dan peran sektor informal seolah terabaikan tanpa memperhitungkan keterlibatan mereka dalam rencana pengelolaan sampah.
Para pemulung yang selama puluhan tahun menjadi garda terdepan seperti memilah dan mendaur ulang sampah kehilangan mata pencahariannya. Sebab, seluruh sampah beralih ke fasilitas pembakaraan, padahal material-material tersebut seharusnya tidak perlu dibakar.
“Ini bukti nyata bahwa proyek semacam ini bukan hanya gagal secara teknis, tapi juga menyingkirkan keadilan sosial dan ekonomi lokal,” kata Titik.
Kendati demikian, AZWI menegaskan bahwa solusi krisis sampah tidak terletak pada pembakaran, melainkan pada perubahan sistemik di hulu mellaui penguatan kebijakan pengurangan di sebumber, pembatasan produk sekali pakai, bahkan sejak produksi dan perluasan sistem pemilahan agar masyaraakt dapat berperan aktif.
Sekitar 60 persen sampah di Indonesia yang bersifat organik juga dapat terkelola tanpa pembakaran melalui kompos, maggotisasi atau biogas komunitas. AZWI tegaskan masa depan pengelolaan sampah Indonesia harus melalui sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada pengurangan sampah di sumber serta perlindungan terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































