Jakarta (Greeners) – Tambahan kapasitas pembangkit listrik gas sebesar 10,3 gigawatt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 berpotensi menimbulkan biaya hingga Rp155,8 triliun per tahun. Kebijakan ini dapat memperburuk ketergantungan terhadap impor dan menghambat transisi energi nasional.
Policy Strategist Yayasan Indonesia CERAH, Sartika Nur Shalati mengatakan bahwa peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis gas akan menaikkan biaya pembelian gas oleh PLN. RUPTL memproyeksikan kebutuhan gas meningkat tajam hingga 60% menjadi 2.352 billion British thermal unit per day (BBTUD) pada 2034.
Dengan asumsi harga gas bumi tertentu (HGBT) maksimal US$6 per juta british thermal unit (MMBTU), total biaya pembelian gas akan mencapai US$5,15 miliar per tahun atau Rp84,98 triliun pert tahun (asumsi kurs Rp16.500) pada 2034.
Tak hanya itu, dengan kebijakan HGBT masih berlaku, maka selisih harga yang akan pemerintah tanggung juga melonjak. Hitungan CERAH, dengan rata-rata selisih HGBT selama ini biasanya mencapai sekitar US$ 5/MMBTU, pemerintah harus menanggung sekitar Rp70,82 triliun dengan skenario penambahan pembangkit listrik berbasis gas 10,3 GW. Semakin besar selisih harga keekonomian gas dengan HGBT, semakin besar pula potensi penerimaan negara yang akan berkurang.
“Dengan tambahan 10,3 GW pembangkit gas, maka total biaya akan bertambah hingga Rp155,8 triliun per tahun. Di sisi lain, pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor migas sebesar Rp208,48 triliun pada 2025 yang bersumber dari PPh migas, PNBP, dan komponen lainnya. Namun, biaya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik gas per tahun saja sudah mendekati angka tersebut. Belum dengan biaya pembangunan infrastruktur gas,” kata Sartika dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8).
Pembangunan Infrastruktur Gas Butuh Biaya Tinggi
Sartika menambahkan, pembangunan infrastruktur gas seperti fasilitas regasifikasi dan pipa membutuhkan biaya tinggi dan jangka waktu lama untuk balik modal. Hal itu berpotensi mengunci Indonesia dalam ketergantungan baru energi fosil.
Pasalnya, utilisasi infrastruktur ini juga akan cenderung dipertahankan demi alasan efisiensi dan pengembalian modal. Dampaknya, investasi besar-besaran dalam pembangkit terbarukan, sistem penyimpanan energi, dan penguatan jaringan (grid) akan melemah.
“Apalagi, dokumen RUPTL tidak memberikan kejelasan tentang batas waktu penggunaan gas, target pengurangannya, maupun strategi phase-out yang konkret. Tanpa arah yang jelas, gas berisiko berubah dari “energi jembatan” menjadi “energi permanen” yang membelokkan tujuan transisi dan melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi iklim global,” tegas Sartika.
Selain itu juga terdapat risiko lainnya yang bisa terjadi. Salah satunya dengan produksi dan cadangan gas nasional terus turun, Indonesia berpotensi menjadi net importir gas setelah 2037. Ia menambahkan bahwa ketergantungan impor ini semakin diperparah oleh meningkatnya konsumsi gas domestik untuk berbagai sektor. Contohnya dari sektor industri, pupuk, rumah tangga, dan ketenagalistrikan.
“Ketika cadangan menurun dan laju lifting tidak mampu mengejar pertumbuhan permintaan, maka kompetisi antar-sektor tak terhindarkan,” ucapnya.
Perburuk Krisis Iklim
Climate & Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari menambahkan bahwa ekspansi pembangkit listrik gas akan memperburuk krisis iklim, terutama terjadinya cuaca ekstrem. Komponen terbesar gas adalah metana yang dampak pemanasan globalnya 80 kali lipat lebih parah dari karbondioksida. Selain itu juga ada risiko kebocoran metana di sepanjang rantai pasok gas. Ketika kebocoran metana sudah lebih dari 3%, gas justru lebih buruk dampaknya dari batu bara untuk iklim.
“Padahal, Indonesia salah satu negara yang sangat rentan terhadap risiko krisis iklim, terutama cuaca ekstrem. Pemerintah dan juga Bank Indonesia sudah mengakui bahwa cuaca ekstrem ini juga merugikan secara ekonomi. Bahkan hingga ratusan triliun,” kata Adila.
Dengan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik gas tersebut, Adila menegaskan bahwa Indonesia justru akan terkunci pada infrastruktur energi fosil dalam jangka panjang. Kondisi ini akan melemahkan kemampuan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara cepat agar sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris.
“Gas fosil justru bukan solusi iklim dan transisi energi. Rencana penambahan gas fosil di dalam RUPTL tidak sejalan dengan transisi energi dan harus dibatalkan, karena skenario ekspansi pembangkit listrik gas akan memicu fossil gas lock-in. Ini bertentangan dengan agenda swasembada energi yang dicanangkan Pemerintahan Prabowo,” Adila menegaskan.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































