Dominasi Energi Fosil di RUPTL Menjauhkan Komitmen Transisi Energi di Indonesia

Reading time: 3 menit
Ilustrasi energi fosil. Foto: Freepik
Ilustrasi energi fosil. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dinilai akan membuat batu bara dan gas masih mendominasi pasokan listrik Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Bahkan, RUPTL terbaru ini justru mendorong penambahan pembangkit listrik energi fosil secara signifikan pada 2025-2029. Kondisi tersebut berisiko membuat Indonesia kehilangan momentum untuk merealisasikan transisi energi.

Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Center for Research on Energy and Air (CREA) β€œIndonesia’s RUPTL outlines faster growth in fossil fuel use, downgrades ambition for clean energy”.

Laporan tersebut menemukan, mengacu RUPTL 2025-2034, pembangkitan listrik berbahan bakar batu bara dan gas nasional akan meningkat hingga 40% dari 285 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh pada 2034. Bahkan, dengan perbandingan RUPTL 2021-2030, pembangkitan listrik berbasis energi fosil juga akan lebih tinggi 10% menjadi 367 TWh pada 2030, mengacu RUPTL baru.

BACA JUGA: Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia Menunggu Realisasi

Analis utama CREA, Lauri Myllyvirta, menyatakan bahwa ketergantungan yang terus berlanjut pada batu bara menjadi hambatan bagi transisi energi. Selain itu, ekspansi besar-besaran pada gas dalam RUPTL baru juga merupakan kemunduran signifikan bagi upaya Indonesia. Dalam rencana ini, Indonesia akan sulit mencapai batas emisi karbon sebesar 290 juta ton CO2 untuk sektor listrik pada 2030 seperti yang telah JETP tetapkan.

β€œSelain mengabaikan target iklim, keengganan Indonesia untuk berkomitmen penuh untuk pengembangan energi terbarukan dapat mengakibatkan hilangnya momentum penting yang negara butuhkan dalam dekade yang menentukan ini,” ujar Myllyvirta.

Padahal, hal tersebut dibutuhkan untuk mengamankan investasi untuk energi bersih dan infrastruktur jaringan listrik. Selain itu, juga untuk menjaga keunggulan kompetitif Indonesia sebagai pemimpin energi bersih di Asia Tenggara.

Transisi Energi Lambat

Sementara itu, meski rencana penambahan energi terbarukan lebih besar dalam RUPTL 2025-2034, pengembangannya justru lebih lambat. Sebab, perkiraan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan justru lebih rendah jika mengacu RUPTL baru. Kapasitanya hanya 17 GW hingga 2030, dibandingkan 20,9 GW pada rentang waktu yangΒ  sama menurut RUPTL lama.

Target penambahan energi surya dan angin dalam RUPTL baru hingga 2030 hanya sebesar 10,6 GW. Angka ini baru mencapai sekitar 40% dari target dalam dokumen investasi JETP sebesar 24,3 GW.

Analis CREA, Katherine Hasan mengatakan bahwa dokumen RUPTL yang baru juga menunjukkan keraguan untuk mendorong energi terbarukan. Terlebih lagi, target yang ditetapkan secara nyata melemahkan komitmen Indonesia yang telah dicapai dengan susah payah.

“Terutama, komitmen yang tertuang dalam JETP, di mana target energi terbarukan lebih rendah dari aspirasi 56 GW pada 2030. Peningkatan produksi pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas juga jauh menyimpang dari komitmen JETP, yang mengasumsikan pengurangan bertahap,” kata Katherine.

Dorong Target Energi Terbarukan

CREA mendorong target energi terbarukan RUPTL lebih agresif, selaras dengan target iklim JETP dan jalur 1,5Β°C. Pasalnya, dengan merealisasikan proyek energi terbarukan prospektif yang sebesar 45 GW, Indonesia akan melampaui target kapasitas energi terbarukan dalam rencana kelistrikan nasional 2030.

Selain itu, CREA juga menekankan urgensi pemantauan yang ketat proyek energi terbarukan. Hal tersebut mengingat perlunya meminta pertanggungjawaban PT PLN (Persero) atas komitmen dalam RUPTL.

BACA JUGA: Aspek Kesehatan Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim

CREA juga mendesak penetapan jalur pensiun batu bara nasional yang menentukan tahun spesifik penghentian operasi PLTU. Hal ini baik yang terhubung jaringan PT PLN (Persero) maupun tidak (PLTU captive). Keduanya tidak disebutkan sama sekali dalam RUPTL terbaru.

Analisis CREA juga menunjukkan dampak kesehatan kumulatif terkait polusi udara oleh PLTU. Dampak polusi udara tersebut akan mengakibatkan 303 ribu kematian dan biaya kesehatan US$ 210 miliar.

Katherine menegaskan, perlu perubahan nyata untuk mencapai visi masa depan bebas fosil dan mandiri energi pada 2040. Perubahan tersebut mulai dari menetapkan jalur pensiun pembangkit batu bara yang jelas. Kemudian, mempercepat penyebaran energi terbarukan serta akuntabilitas PLN dalam implementasi proyek.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top