Greenpeace Desak Pemimpin ASEAN Tangani Kabut Asap Lintas Batas

Reading time: 2 menit
Greenpeace mendesak pemimpin ASEAN untuk menangani kabut asap lintas batas. Foto: Alif R Nouddy Korua/Greenpeace
Greenpeace mendesak pemimpin ASEAN untuk menangani kabut asap lintas batas. Foto: Alif R Nouddy Korua/Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Permasalahan kabut asap yang melanda Indonesia dan sejumlah negara, termasuk Malaysia, hingga kini belum terselesaikan. Greenpeace mendesak para pemimpin ASEAN untuk menunjukkan komitmennya dalam menanggulangi kabut asap lintas batas yang terus berulang setiap tahun.

Menjelang KTT ASEAN ke-27 di Malaysia, Greenpeace Indonesia bersama Greenpeace Malaysia juga telah meluncurkan ASEAN Haze Report 2025. Dalam laporan tersebut, Greenpeace mengungkap sejumlah perusahaan pencemar, termasuk dari Malaysia. Perusahaan-perusahaan tersebut menghindari sanksi berat atau penangguhan izin meskipun terlibat dalam kasus kebakaran jutaan hektare lahan dan hutan gambut (karhutla).

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa hampir setiap tahun, wilayah Asia Tenggara terdampak kabut asap. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan fenomena kabut asap lintas batas (transboundary haze) kerap terjadi di wilayah ini. Faktor tersebut mencakup arah angin, cakupan, dan durasi kabut asap.

Peneliti Senior Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan adanya tumpang tindih antara lokasi kebakaran sebagai sumber kabut asap dengan area konsesi di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Kritis. Tumpang tindih tersebut terjadi di wilayah Sumatra dan Kalimantan pada tahun 2015, 2019, dan 2023.

“Wilayah-wilayah ini memiliki lahan gambut yang sangat luas, yang mudah terbakar jika kering, dan apinya sulit dipadamkan. Kemudian, musim kemarau, El Nino, dan angin monsun memperparah situasi ini ke negara-negara tetangga,” ujar Sapta dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/10).

Peran ASEAN Signifikan

Selain menyoroti aspek lingkungan, laporan ini juga menyinggung perjuangan warga dalam menuntut keadilan lingkungan, baik di Indonesia maupun Malaysia. Dalam acara peluncuran laporan, hadir Pralensa dan Rendy Zuliansyah, dua dari belasan warga Sumatra Selatan yang menggugat tiga perusahaan penyebab kabut asap karhutla, yaitu PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries.

Namun, gugatan tersebut tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Palembang, dan pengajuan banding ditolak oleh Pengadilan Tinggi Palembang. Putusan itu menjadi pukulan berat bagi perjuangan warga dalam melawan kejahatan ekologis di Sumatra Selatan. Hingga kini, para korban kabut asap masih terus berjuang untuk memperoleh kebebasan dari ancaman asap yang berulang setiap tahun.

Penolakan gugatan warga ini semakin memperlihatkan lemahnya penegakan hukum lingkungan di tingkat nasional maupun regional. Padahal, sudah lebih dari dua dekade sejak ASEAN mengadopsi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Namun, sayangnya kabut asap karhutla tetap menjadi krisis tahunan di Asia Tenggara.

Melalui peluncuran laporan ini, Greenpeace menegaskan kembali bahwa kemajuan regional tidak akan tercapai tanpa adanya akuntabilitas bersama dan komitmen kuat dari seluruh negara anggota ASEAN.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba mengungkapkan bahwa di tingkat regional, peran ASEAN dalam isu kabut asap lintas batas sangat signifikan. Namun, efektivitasnya dibatasi oleh karakteristik utama ASEAN, yakni Prinsip Non-Interferensi (Non-Interference) dan Pendekatan ASEAN Way.

Padahal, dengan situasi krisis iklim saat ini, seharusnya para pemimpin negara jadi makin terdesak untuk mengambil langkah tegas. Mereka juga harus segera menindak perusahaan pencemar udara.

“Kredibilitas ASEAN bergantung pada kemampuannya untuk menegakkan hak-hak dasar rakyatnya. Terutama yang paling rentan, dalam menghadapi krisis lingkungan,” kata Belgis.

Menurutnya, ASEAN harus memastikan bahwa hak atas lingkungan yang sehat bukan sekadar harapan. Hak tersebut, harus ditegakkan secara hukum agar tidak terus menerus melahirkan trauma berkepanjangan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top