Tanpa Pengendalian, Krisis Iklim Berujung pada Krisis Pangan

Reading time: 4 menit
Ancaman krisis iklim
Krisis iklim tak terkendali memicu anomali cuaca seperti kekeringan ekstrem. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Laju krisis iklim yang tidak terkendali mengancam ketersediaan pangan di masa depan. Pertambahan jumlah penduduk sangat membutuhkan kecukupan pangan. Celakanya, krisis pangan akan terjadi ketika krisis iklim, alih fungsi lahan, kerusakan, bencana ekologis, nondiversifikasi pangan, serta pemborosan konsumsi menyatu.

Dunia memperingati hari pangan setiap 16 Oktober. Tahun ini Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil tema “Masa depan makanan ada di tangan kita” (“The future of food is in our hands“).

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko mengatakan, besarnya ancaman anomali cuaca dan iklim ini menyebabkan turunnya produksi tanaman pangan. Hal ini terjadi seiring meningkatnya potensi kekeringan dan penurunan ketersediaan air.

“Selain itu, peningkatan musim kemarau dan beberapa wilayah mengalami penurunan intensitas curah hujan juga turut meningkatkan penurunan produksi tanaman pangan khususnya padi,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Senin (18/10).

Ia mengungkapkan, besarnya ancaman anomali cuaca dan iklim di sektor pertanian, kelautan, air dan kesehatan akan menyebabkan penurunan potensi kehilangan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,34 % (2020) dan 1,15 % (2024). Upaya ketahanan iklim beserta targetnya dapat mengurangi kerugian hampir Rp 15,6 triliun di sektor pertanian.

Untuk menjawab proyeksi itu, BMKG telah menginsiasi konsep adaptasi iklim di sektor pertanian dengan adanya sekolah lapang iklim. Sekolah lapang iklim ini menargetkan peningkatan kapasitas para penyuluh pertanian, petani dan pemerintah daerah tentang informasi iklim dan implementasinya terhadap sektor pertanian.

“BMKG mengimplementasikan konsep adaptasi iklim terhadap sektor pertanian sejak 2010. Bersama pemerintah daerah setempat, BMKG melaksanakan kegiatan sekolah lapang iklim untuk sektor pertanian,” tuturnya.

Krisis Iklim

Dampak krisis iklim. Foto: Shutterstock

Aksi Mitigasi Krisis Iklim

Saat ini lanjut Urip, Pemerintah Indonesia fokus dalam program mitigasi perubahan iklim di tingkat nasional yang terwujud dalam Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai implementasi dari Paris Agreement.

Implementasi tersebut akan menyentuh pengelolaan sampah padat dan cair, penggunaan energi terbarukan dan konservasi energi. Selain itu ada pula budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca, peningkatan tutupan vegetasi dan pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Di samping itu tambahnya, pemerintah menerapkan strategi untuk mitigasi perubahan iklim salah satunya mendorong komitmen pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk mendukung pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta kegiatan ekonomi masyarakat

Sementara itu, terkait sekolah lapang iklim BMKG, Urip menjelaskan konsep ini diharapkan membangun tingkat resiliensi sektor pertanian terhadap kejadian iklim ekstrem. Bahkan sejak tahun 2020 sekolah lapang iklim melibatkan pengaturan daerah aliran sungai untuk menentukan penjadwalan pola tanam.

Di sektor kelautan, BMKG juga memberi pengetahuan adaptasi iklim bagi nelayan dan masyarakat pesisir melalui sekolah lapang cuaca nelayan.

“Perubahan Iklim sudah bukan isu lagi, sudah pada tahap krisis iklim yang artinya dampak perubahan iklim ini sudah nyata dan berdampak global,” ucapnya.

Aksi nyata mitigasi yang melibatkan partisipasi masyarakat dari level komunitas, desa hingga pemerintah daerah sangat menentukan ketahanan iklim. Kegiatan mitigasi bisa berupa pembangunan rendah karbon, penggunaan energi terbarukan, bersih-bersih sampah pantai/laut, penanaman dan perlindungan mangrove. Selain itu bisa pula dengan mengantisipasi ancaman abrasi dan rob dan mengurangi bahan perusak ozon.

Sentra-Sentra Pangan Rentan Bencana Ekologis

Anomali iklim saat ini membuat intensitas kejadian bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang, longsor) meningkat. Emisi karbon masif membuat pemanasan global yang berujung pada menguatnya dampak perubahan iklim. Selain bencana, sektor pangan pun semakin terancam dampak perubahan iklim.

Manager Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksektif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wahyu Perdana menegaskan, bencana ekologis dampak dari krisis iklim melanda sentra-sentra lumbung pangan dan pertanian di Indonesia seperti Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan.

“Dari Analisa kami, perubahan iklim akan berpengaruh terhadap pangan. Apalagi model pangan kita sangat bergantung lahan dan meningkatnya alih fungsi lahan,” katanya.

Belum lagi konsep tanam food estate dengan membuka lahan super luas, penyeragaman pangan semakin berdampak pada iklim. Di tambah lagi food estate dalam catatan sejarahnya belum berhasil mendorong sektor produksi pangan. Buktinya pasokan pangan belum cukup dan impor pangan masih terjadi.

Hal lainnya kegagalan panen terjadi karena perubahan cuaca ekstrem. Kejadian juga kerap terjadi di sentra-sentra pangan. Wahyu mengingatkan, ancaman pangan jangan sebatas melihat pangan pertanian tetapi juga ada dari sektor perikanan.

Ia menyebut, hampir 75 % pemenuhan ikan berasal dari nelayan tangkap kecil. Ironisnya, perubahan muka laut, tingginya pencemaran menurunkan produksi nelayan tersebut.

Petani Kecil Sulit Berdaya

Kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja tambahnya, turut memperlemah aspek penanganan krisis iklim. Wahyu memperkirakan alih fungsi lahan akan berjalan semakin cepat yang mengancam kawasan hutan. Dalam konteks pertanian yang butuh air, tentu daerah tangkapan air (hutan) atau area lindung harus luas. Tanpa itu, petani semakin terbebani akses air. “Petani harus bergantung pada sistem hidrologi mana lagi?,” imbuhnya.

Wahyu juga menyorot food estate yang tidak memberi ruang diversifikasi pangan. Padahal kultur masyarakat sangat memengaruhi kultur pangan. Pembukaan lahan masif pun berpotensi meningkatkan jejak karbon.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2003-2013 lanjutnya, mengungkap perusahaan agrobisnis meningkat dua kali lipat selama periode tersebut dari 1.475 menjadi 5.486. Namun yang menyedihkan, angka keluarga petani turun 5,04 juta dalam periode yang sama. Hal ini ironi karena korporasi mendominasi dengan kecenderungan ekspansi lahan.

Di samping itu tambahnya, rasio ketimpangan lahan hampir 0,68% artinya 1% orang kaya di Indonesia menguasai sekitar 68% luas daratan Indonesia. Konsekuensinya petani kecil sulit berdaya atas lahan dan produksi pangannya.

Penulis : Ari Rikin

 

Top