Habis Energi Konvensional, Terbitlah Energi Terperbarukan

Reading time: 16 menit

Tibanya Era Bio-Energi

”Sampai kapankah sumber energi fosil akan bertahan?” Pertanyaan ini timbul mengingat seluruh negara di dunia tidak lepas dari ketergantungan terhadap sumber energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM). Sampai saat ini harga minyak dunia mencapai US$70 per barrel. Kita juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa sumber energi ini suatu saat akan habis dan perlu waktu jutaan tahun untuk diproduksi kembali.

Menurut data dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), persediaan sumber energi fosil di Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan dalam beberapa puluh tahun saja. Persediaan gas di Indonesia hanya bisa bertahan sekitar 30 tahun, bahan bakar batu bara sekitar 50 tahun, dan yang paling mengkhawatirkan adalah persediaan bahan bakar minyak yang hanya mampu bertahan sekitar 11 tahun saja.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling boros menggunakan BBM. Indonesia membutuhkan 60 juta kiloliter BBM setiap tahun dan lebih dari setengahnya digunakan untuk keperluan transportasi. Sama halnya untuk memenuhi pasokan listrik, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggunakan solar hingga 68% dari konsumsi BBM-nya. Tidak heran bila pada 2006 PLN harus mengeruk kantong negara hingga 52,3 trilliun untuk membeli BBM.

Hal tersebut membuat negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, harus berpikir keras mencari sumber energi baru. Sampai ditemukannya sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan sumber daya hayati sebagai sumber energi baru. Kini di abad 21, ucapkan selamat datang pada era bahan bakar nabati (BBN).

Melirik pada keterbatasan energi ini, pada tahun 2006 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintahan (PP) mengenai energi nasional, yang menyebutkan bahwa energi merupakan salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi negeri ini, maka dari itu dibutuhkan perhatian yang penuh untuk menjawab persoalan tersebut. Presiden RI Kemudian mengeluarkan kebijakan mengenai penyediaan BBN melalui Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006. Sejak itu, biofuel menjadi spektrum bisnis yang lumayan menggairahkan di negeri ini. Terbukti, setidaknya tercatat tiga belas perusahan produsen biofuel yang telah resmi di Indonesia.

BBN merupakan campuran atau (dapat pula) bukan campuran dari minyak atau gas dengan yang dihasilkan oleh sumber daya hayati yang telah ada seperti tanaman, hewan, bahkan manusia. BBN yang dikenal sampai saat ini adalah biofuel, biodiesel, bioethanol, dan biogas. Biofuel adalah campuran antara minyak tumbuhan seperti minyak sawit mentah atau Crude Plant Oil (CPO) dengan bensin. Sedangkan biodiesel merupakan hasil percampuran antara minyak jarak pagar dengan solar. Bioethanol sendiri merupakan campuran dari ethanol yang dihasilkan oleh ubi, tebu, dan jagung dengan bensin. Dengan demikian, karena baru merupakan bahan campuran, saat ini biodiesel, bioethanol, dan biofuel belum dapat menggantikan BBM 100%.

Namun, telah ditemukan BBN yang mampu menggantikan BBM sepenuhnya, yaitu Indonesian Nabati Alternative Bio-Formula 100 (INA BF-100). Penemunya adalah seorang peneliti swasta lulusan Science University Malaysia tahun 1974 yang bernama Ir. BF Prawoto, M.Sc. Sayangnya, dalam mengimplementasikan produk ini masih terdapat hambatan birokrasi, serta lemahnya political will dari pihak pemerintah.

Biogas, berbeda dari BBN lainnya, benar-benar murni dari hasil fermentasi anaerob (tanpa oksigen) limbah makhluk hidup tanpa dicampur elemen lainnya. Sesuai dengan namanya, maka bahan bakar yang dihasilkan sumber energi ini adalah gas. Gas ini mengandung metan, karbon dioksida, dan beberapa gas lain dengan kadar yang relatif kecil, seperti hidrogen dan hidrogen sulfida. Limbah yang dapat digunakan sebagai penghasil gas ini tidak hanya berasal dari limbah ruminansia (hewan ternak pemamah biak yang memiliki ruang lambung lebih dari satu, seperti kerbau dan sapi), tapi juga limbah manusia dan limbah dapur organik.

Sampai saat ini, tidak jarang ditemukan pom bensin yang menggunakan biodiesel di Jakarta. Bahkan bus yang digunakan sebagai alat transportasi busway di Jakarta telah menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG).

Meski demikian, Indonesia jangan terburu-buru merasa bangga. Beberapa negara lain telah beberapa langkah lebih maju. Brasil contohnya, telah mengklaim penanaman jarak sampai 12% dari lahan teritorialnya dan telah menandatangani perjanjian dengan IMF untuk penanaman modal usaha biodieselnya. Begitu pula dengan Amerika Serikat yang telah mengalihgunakan sebagian produksi jagungnya untuk produksi bioethanol. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, kita bersaing dengan Malaysia yang merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

Menanggapi hal itu, seorang peneliti biodiesel Dr, Ir. Hariyadi M.S. yang berprofesi sebagai dosen Agronomi di Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan bahwa minyak jarak, meski tidak mampu menggantikan BBM 100%, memiliki potensi pasar dan sumber daya alam yang sangat berlimpah di Indonesia. Salah satu perusahaan swasta bahkan telah menunjuk dirinya sebagai konsultan perkebunan jarak di Riau. Hariyadi menyebutkan, perkebunan jarak yang telah bekerjasama dengan IPB berada di beberapa daerah seperti di Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Pulau Sumba.

Sampai saat ini pemerintah telah menetapkan program B5, yaitu penggunaan solar yang dicampur dengan minyak nabati dengan perbandingan 95% solar dan 5% minyak nabati. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan produksi minyak nabati yang masih terbatas. Pemerintah juga baru menargetkan B10, sebanyak 90% solar dan 10% minyak nabati, pada tahun 2025. Semua dilakukan secara bertahap.

Sebagai ilustrasi, jika rata-rata penggunaan solar di Indonesia mencapai 14 juta kiloliter tiap tahunnya, maka dibutuhkan 1.400.000 liter minyak nabati sepanjang tahun 2016-2025. Hal itu menuntut Indonesia untuk memproduksi jarak dan kelapa sawit lebih banyak. Dan tidak menutup kemungkinan, ketika Indonesia secara bertahap mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan BBN, maka BBM akan benar-benar dapat tersubtitusikan.

Di lain pihak, seorang dosen pengolahan limbah dari fakultas peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang telah dikenal memiliki konsen terhadap perkembangan biogas, Ir. Suhut Simamora, M.S. mengungkapkan peran biogas dalam mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil. Biogas lebih terkonsentrasi pada pengurangan ketergantungan pada BBM, terutama minyak tanah. Pada tingkat rumah tangga, biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Jika rata-rata setiap rumah di Indonesia membutuhkan 2 hingga 3 m3 bahan bakar perhari, seekor sapi dapat menghasilkan limbah ternak sebanyak 20kg perhari, ini cukup untuk menghasilkan 3 sampai 4 m3 bahan bakar setiap harinya.

Belum lama ini Suhut telah membuktikan bahwa biogas juga dapat digunakan untuk menjalankan generator. Bila biogas benar-benar diimplementasikan, terutama di daerah peternakan, maka energi listrik yang dihasilkan tidak melulu bergantung pada solar. Tapi tentu saja gas yang diperlukan sangat banyak. Saat ini hanya beberapa peternakan di Sumatera Utara yang menggunakan biogas sebagai bahan bakar untuk listrik untuk kebutuhan pemanas kandang.

Nampaknya, untuk pembangkit listrik, biodiesel lebih menjanjikan ketimbang BBN lainnya. PLN telah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang menggunakan solar 50% dan CDO 50%. PLTD ini telah berhasil di Lampung. Langkah selanjutnya PLN berencana mendirikan PLTD di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, tempat produksi jarak dan kelapa sawit.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, total kebutuhan biodiesel secara nasional mencapai 4.120.000 kiloliter per tahun. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110.000 kiloliter per tahun. Pada 2007 baru akan ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter per tahun. Hal ini tentu memerlukan kerjasama dari seluruh stake holders termasuk pihak swasta yang mau menginfestasikan modalnya di bidang ini, mengingat pemerintah tidak akan mampu untuk meng-handle semuanya.

Top