Jakarta (Greeners) – Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 saat ini tengah berlangsung di Komisi IV DPR RI. Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa proses ini merupakan momentum penting untuk mengakhiri tata kelola hutan warisan era kolonial. Mereka mendesak DPR mencabut UU Kehutanan lama dan menggantinya dengan UU baru, yang lebih adil serta mampu melindungi ekosistem hutan.
Menurut koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas eksploitasi. Sebab, selama 26 tahun ini telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan.
Tak hanya itu, berbagai konflik juga kerap terjadi, yakni konflik tenurial yang tidak selesai, dan impunitas perusahaan penghancur hutan. Bahkan, perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Padahal, hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yaitu masyarakat adat dan komunitas lokal. Di sana juga terdapat kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang tidak bisa terpisahkan dengan hutan.
BACA JUGA: Program Investasi Kehutanan Dorong Perbaikan Pengelolaan Hutan
Deputri Program HuMa, Erwin Dwi Kristianto mengungkapkan tiga hal yang semestinya ada di dalam UU Kehutanan yang baru. Di antaranya transisi rezim kehutanan dari rezim pengurusan menjadi rezim pengelolaan, memastikan proses penetapan hutan adat menjadi bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan, serta pemulihan lahan hutan.
“Negara semestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” kata Erwin dalam konferensi pers, Selasa (15/7).
Salah Tafsir UU Kehutanan
Koalisi memandang secara filosofis, UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 telah salah menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Secara sosiologis, UU tersebut telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan tidak acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara secara yuridis, UU ini telah melalui banyak bongkar pasang. Bahkan, telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Putusan MK, dan UU yang mencabut pasal-pasal di UU Kehutanan.
“Oleh karena itu, koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” ujar Manager Komunikasi, Kerja Sama, dan Kebijakan Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga.
Hentikan Penghancuran Hutan Alam
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra pemerintah sudah semestinya menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal. Apalagi, saat ini pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan.
“Misalnya dalam hal penertiban kawasan hutan yang hendak mengejar penerimaan negara hanya mengalihkan pelaku deforestasi, bukan menyelesaikan masalah mendasar tata kelola kehutanan,” katanya.
Ia menambahkan, setidaknya terdapat 42,6 juta hektare hutan alam di dalam tiga kawasan hutan produksi terancam deforestasi di masa mandatang. Di antaranya kawasan hutan produksi terbatas, tetap, dan yang dapat dikonversi.
“Kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level intruksi presiden (inpres) pun tidak cukup kuat. Apalagi, faktanya kita masih melihat deforestasi dan kebakaran di area yang sudah dimoratorium,” tambahnya.
Data terakhir menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024. Refki menegaskan bahwa kini sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik “monetisasi hutan”. Pemerintah harus menyelamatkan 90,7 juta hektare hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































