Indonesia Butuh Indikator Keanekaragaman Hayati Nasional

Reading time: 2 menit
Indonesia miliki kekayaan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia merupakan negara megabiodiversity terbesar kedua di dunia. Namun, hingga saat ini Indonesia belum memiliki indikator nasional mengukur keanekaragaman hayati agar memperoleh pendanaan mengembangkan potensi tersebut.

Perencana Ahli Madya Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Erik Armundito mengatakan, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk kebutuhan pengelolaan kehati tahun 2021 hanya 0,81 persen dari total belanja kementerian/lembaga.

“Kebutuhan pendanaan kehati, dihitung pada target nasional Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020. Setidaknya membutuhkan Rp 167 triliun sehingga butuh pendanaan inovatif dan berkelanjutan,” kata dia dalam acara Mengukur Keanekaragaman Hayati untuk Transfer Fiskal Berbasis Ekologi di Jakarta, Selasa (11/1).

Ia menyebut pentingnya pendanaan inovatif oleh pemerintah untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati. Salah satunya transfer fiskal berbasis ekologi (ecological fiscal transfer/EFT).

Analisis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto menyatakan, instrumen kebijakan untuk transfer fiskal berbasis ekologi harus memastikan elemen teknisnya, berupa indikator pengukur kehati.

“Definisi kehati seperti apa dulu. Karena definisinya banyak dan luas dan belum punya persepsi yang sama. Ini tugas para akademisi, harus selesai di level teknis sebelum menyentuh kebijakan,” ujar dia

Dalam hal ini, semua sektor harus memiliki peran sentral untuk memastikan pengelolaan keanekaragaman hayati. Termasuk saat di sektor hulunya selesai, maka BKF bisa merekomendasikan isu biodiversity ini ke dalam instrumen kebijakan.

Djoko menambahkan tantangan saat ini yaitu isu biodiversity jauh tertinggal dengan perubahan iklim. Selain itu, isu perubahan iklim memiliki kejelasan indikator sehingga memudahkan dalam pendanaan.

“Termasuk ketika kita minta support dari perbankan untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim sudah ada ukurannya. Tapi untuk kehati belum jelas ukurannya. Kredit kehati untuk apa belum jelas,” kata dia.

Ia mendorong agar dua isu tersebut dikaitkan satu sama lain. “Sehingga ke depan kita pikirkan untuk kebijakan sinergi antara perubahan iklim dan kehati,” ungkapnya.

Peran Sentral Akademisi

Menanggapi hal itu, Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Budi Setiadi Daryono menilai, peran sentral dari para akademisi penting untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia di masa depan.

“Peran akademisi dapat dengan mengumpulkan database terkait kehati untuk kemudian menjadi pemetaan sebagai basis pengetahuan dalam mengambil kebijakan,” katanya.

Selama tahun 2020, KOBI telah mengumpulkan 3.160 data dari 195 referensi data digital. Pada tahun selanjutnya, jumlahnya meningkat menjadi 4.897 data dari 230 referensi yang ada.

Sejumlah narasumber ahli hadir dalam acara Mengukur Keanekaragaman Hayati untuk Transfer Fiskal Berbasis Ekologi di Jakarta. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Ancaman Pengelolaan Kehati Indonesia

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Hadi S Alikodra menyatakan, setidaknya terdapat tiga ancaman pengelolaan keanekaragaman hayati. Ancaman tersebut yaitu perubahan iklim, kemiskinan dan perang antarnegara.

Ia menyebut semua pihak harus terlibat melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia.  “Itu harus dimonitor agar tak menjadi jalan terjal keberlanjutan potensi kehati kita,” imbuhnya.

Ia menilai indikator kehati bukan sekadar dari keberadaannya saja. Tapi nilai manfaat dan permintaannya melalui potensi riset bioprospeksi.

Paclitaxel untuk pengobatan kanker payudara dan kanker vagina berasal dari jenis Taxus sumatrana misalnya mampu memberikan penghasilan US$ 1,5 miliar per tahun bagi produsen obat Bristol-Myers Squibb.

Selain itu, jamur morel (Morchella crassipes) mengandung antitumor, antioksidan dan antiradang memiliki harga tinggi di pasar internasional Rp 6 juta per kilogram.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top