Limbah Paracetamol Perairan Jakarta Tinggi Dibanding Brazil dan Portugal

Reading time: 4 menit
Pencemaran Paracetamol
Pencemaran paracetamol di perairan Jakarta yakni Muara Angke dan Ancol tinggi. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan konsentrasi limbah farmasetika paracetamol di Teluk Jakarta. Konsentrasinya bahkan cenderung lebih tinggi dari perairan lainnya di dunia seperti Brazil dan Portugal.

Hasil penelitian menunjukkan, konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta relatif tinggi (420-610 ng/L) sedangkan di pantai Brazil (34,6 ng/L), pantai utara Portugal (51,2 – 584 ng/L). 

Namun dari empat lokasi di Teluk Jakarta, hanya dua lokasi yakni perairan di Muara Angke dan Ancol memiliki konsentrasi tinggi cemaran paracetamol. Untuk mendalami sumber kontaminasi dan dampak lanjutan bagi biota laut dan manusia perlu riset lanjutan yang lebih mendalam. Riset lanjutan bertujuan untuk menemukan solusi terbaik dan tepat, menjaga kelestarian laut, ekosistem dan kehidupan manusia di masa depan.

Tim memulai penelitian tahun 2017, selain Muara Angke dan Ancol dua lokasi lain yang juga tim ambil sampel kerang yakni di perairan Tanjung Priok dan Cilincing serta satu lokasi di Pantai Eretan bagian dari Pantai Utara Jawa Tengah. Hanya saja tiga lokasi terakhir, konsentrasi kontaminasi paracetamol hampir tidak terdeteksi alat atau berkonsentrasi rendah.

Anggota tim peneliti BRIN Zainal Arifin mengatakan, banyak latarbelakang dari riset ini, salah satunya terkait masa depan laut Indonesia. Menurutnya, masayarakat tentu menginginkan laut yang bersih, sehat dengan ekosistem bagus dan laut yang produktif.

“Dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 14 juga terkait dengan kehidupan di bawah laut. Begitu pula dalam The Decade on Ocean tahun 2021-2030 kita ingin tahu kondisi laut yang kita punya saat ini. Bagaimana laut yang kita inginkan ke depannya,” katanya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (4/10).

Temuan konsentrasi limbah paracetamol ini menjadi riset awal dari BRIN dan University of Brighton UK. Hasil riset ini sudah masuk publikasi internasional lewat jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia”. Selain Prof. Zainal Arifin, periset lain lain yang terlibat yakni Dr. Wulan Koagouw (BRIN, UoB), Dr. George Olivier (UoB) dan Dr. Corina Ciocan (UoB).

Jaringan Reproduksi Kerang Terganggu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter nutrisi seperti Amonia, Nitrat, dan total Fosfat, melebihi batas baku mutu air laut Indonesia. Selain itu, Parasetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.

Konsentrasi Parasetamol yang cukup tinggi, meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.

Parasetamol merupakan salah satu kandungan yang berasal dari produk obat atau farmasi. Banyak masyarakat mengkonsumsi paracetamol secara bebas tanpa resep dokter.

Zainal menjelaskan, bahwa secara teori sumber sisa atau limbah paracetamol yang ada di perairan teluk Jakarta dapat berasal dari tiga sumber, yaitu ekresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan, rumah sakit dan industri farmasi.

“Dengan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter, memiliki potensi sebagai sumber kontaminan di perairan. Sedangkan sumber potensi dari rumah sakit dan industri farmasi dapat diakibatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak berfungsi optimal. Sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai,” paparnya.

Kerang menjadi sampel penelitian ini karena biota ini bersifat menetap di perairan. Zainal menyebut, jika ada pencemaran hanya ada dua kemungkinan yang terjadi, kerang bisa bertahan atau mati. Berbeda dengan ikan yang cenderung bergerak jika kekurangan oksigen.

Limbah Paracetamol Muara Angke 2

Sisa buangan penggunaan paracetamol tanpa kelolaan baik cemari perairan. Foto: Shutterstock

Perlu Kajian Ilmiah Sumber Pencemar

Mengenai bahaya limbah paracetamol bagi manusia dan lingkungan serta dari mana sumber pencemarnya, peneliti BRIN Wulan Koaguow mengatakan perlu riset lanjutan. “Kami tidak akan bisa menyimpulkan sesuatu tanpa berpegang pada data atau kajian ilmiah,” ucapnya.

Namun dari riset terhadap kerang selama tujuh dan 24 hari, sistem jaringan reproduksinya terganggu. Hasil penelitian di laboratorium yang tim lakukan juga menemukan bahwa pemaparan parasetamol pada konsentrasi 40 ng/L telah menyebabkan atresia pada kerang betina dan reaksi pembengkakan.

“Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan terkait potensi bahaya paracetamol atau produk farmasi lainnya pada biota-biota laut,” kata Wulan.

Meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut, namun beberapa hasil penelitian di Asian Timur, seperti Korea Selatan menyebutkan bahwa zooplankton yang terpapar limbah paracetamol menyebabkan peningkatan stress hewan dan oxydative stress. Kondisi ini membuat ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antioksidan, yang berperan dalam mempertahankan homeostasis.

Wulan pun mengapresiasi respon Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sejumlah pihak terkait lainnya atas riset awal ini.

Pandu Masyarakat Tangani Obat Kedaluwarsa

Ia pun berpendapat untuk memulihkan kondisi perairan dari pencemaran, tentu tidak pasti durasi atau waktunya. Hanya saja, kondisi cemaran ini harus menjadi catatan penting bagi seluruh komponen masyarakat.

Industri dan rumah sakit harus meningkatkan kualitas instalasi pengelolaan air limbahnya. Dengan begitu tidak ada limbah yang terlepas ke sungai hingga bermuara ke laut. Masyarakat juga bisa mengubah gaya hidup dengan mendapat panduan mengelola obat kedaluwarsa sehingga tidak terbuang begitu saja.

Zainal juga menyebut hampir 60-80 % cemaran ke pesisir bersumber dari daratan. Jika perairan Jakarta, tentu potensi kontribusi kawasan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi juga ada. Pemerintah perlu juga melakukan penguatan regulasi tata kelola pengelolaan air limbah baik untuk rumah tangga, komplek apartemen dan industri.

“Dalam pemakaian produk farmasi (obat, stimulan), publik perlu lebih bertanggung jawab, misalnya tidak membuang sisa obat sembarangan. Ini yang nampaknya belum ada, perlu ada petunjuk pembuangan sisa-sisa obat,” tutur Zainal.

Penulis: Ari Rikin

 

Top