Jakarta (Greeners) – Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut pemerintah Jepang untuk menghentikan inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC). Menurut mereka, upaya ini merupakan greenwashing dengan label dekarbonisasi.
Kelompok masyarakat sipil di Indonesia ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Tuntutan itu mereka sampaikan pada Jumat (2/5) di depan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia.
Masyarakat sipil di Indonesia menilai AZEC bisa menjadi ancaman bagi lingkungan hidup, masyarakat, bahkan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Sebab, kurangnya transparansi, keterbukaan informasi, serta partisipasi publik yang bermakna.
Menurut mereka, inisiatif ini juga dapat memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, menawarkan solusi palsu yang berisiko bagi keberlanjutan lingkungan serta komunitas. Selain itu, AZEC berpotensi mempercepat perampasan lahan dan meningkatkan deforestasi. Bahkan, bisa menciptakan beban ekonomi dan fiskal yang dapat merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
BACA JUGA: Banjir Kritikan, Masyarakat Sipil Sebut AZEC Timbulkan Banyak Masalah
Menurut Kepala Divisi Kampanye Walhi Fanny Tri Jambore, hingga saat ini, keputusan untuk menyetujui berbagai inisiatif yang tercantum dalam dokumen AZEC belum pernah melalui konsultasi terbuka. Khususnya, dengan komunitas lokal di wilayah pelaksanaan proyek maupun dengan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.
Salah satu proyek yang AZEC dukung adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Kemudian, eksploitasi mineral kritis dalam produksi baterai dan industri kendaraan listrik. Dalam praktiknya, di Indonesia, pertambangan mineral kritis justru mempercepat deforestasi hutan hujan yang berfungsi sebagai penyerap karbon.
Menurut Fanny, tidak ada informasi, transparasi, dan partisipasi terhadap persetujuan, perjanjian, hingga kerja sama proyek AZEC. Hal itu menyebabkan pemerintah Jepang dan Indonesia gagal mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, serta hak asasi manusia yang berpengaruh pada masyarakat.
“Oleh karena itu, hentikan implementasi AZEC karena tidak sejalan dengan kepentingan publik,β ujar Fanny dalam keterangan tertulisnya.
Pertahankan Energi Fosil
Selain itu, Walhi juga menyoroti proyek Waste to Energy (WTE) Legok Nangka di Kabupaten Bandung yang bermasalah. Permasalahan ini terkait transparansi dalam pemilihan teknologi insinerator dan terpilihnya konsorsium Jepang, Sumitomo-Hitachi Zosen, dengan keterlibatan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dapat memengaruhi keputusan tersebut.
Proyek lain seperti PLTPB Muara Laboh di Sumatra Barat juga minim keterlibatan komunitas terdampak, menyebabkan petani mengalami gagal panen. Warga sekitar menghadapi dampak langsung tanpa konsultasi yang memadai.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyoroti inisiatif AZEC yang mendorong teknologi dan pendekatan seperti Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), co-firing dengan hidrogen, amonia, biomassa, serta Liquefied Natural Gas (LNG). Proyek-proyek ini mengindikasikan bahwa AZEC berusaha mempertahankan penggunaan energi fosil.
Menurut JATAM, langkah ini menghadirkan berbagai ancaman bagi lingkungan dan komunitas. Banyak laporan juga menunjukkan dampak negatif penggunaan energi fosil di Indonesia. Oleh karena itu, dengan memperpanjang penggunaan energi fosil artinya telah memperpanjang penderitaan masyarakat.
Pengkampanye JATAM, AlFarhat Kasman mengatakan bahwa inisiatif AZEC tidak dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini juga menjauhkan target suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris. Sehingga, tidak membantu upaya memerangi perubahan iklim.
Proyek AZEC Bebani Ekonomi
Sementara itu, CELIOS menggarisbawahi proyek-proyek yang didukung AZEC seperti transisi energi menggunakan gas, geothermal, co-firing biomass, teknologi CCS atau CCUS, dan hidrogen hijau. Proyek-proyek itu dapat meningkatkan beban ekonomi dan fiskal.
Kondisi ini terjadi di tengah beban fiskal Indonesia yang akan bertambah karena peningkatan klaim BPJS Kesehatan, akibat dampak kesehatan dan penambahan subsidi energi, karena kebijakan transisi ke gas. Sehingga, semakin meningkatkan kesulitan pembayaran utang jatuh tempo yang dalam tiga tahun ke depan, akan mencapai Rp2.406 triliun.
Peneliti CELIOS, Jaya Darmawan mengatakan peningkatan subsidi listrik akibat transisi ke gas bumi juga akan meningkatkan beban fiskal akibat kebijakan stabilitas biaya energi primer. “Apalagi, ternyata simulasi dampak ekonominya secara makro juga negatif,” ujarnya.
Terbaru, simulasi dampak ekonomi penambahan PLTG 22 gigawatt (GW) di Indonesia, akan menyebabkan output ekonomi minus hingga Rp941,4 triliun dan penurunan serapan kerja 6,7 juta orang, dalam proyeksi sampai tahun 2040.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia