Jakarta (Greeners) – Isu lingkungan hidup belakangan semakin sering dikaitkan dengan ajaran agama. Dalam hal ini, Islam dalam ajarannya juga memiliki landasan kuat untuk mengajarkan manusia menyelamatkan lingkungan dan merawat bumi.
Pendakwah Indonesia, Husein Ja’far Al Hadar menyebut Islam memiliki ajaran yang sangat kaya terkait bagaimana manusia harus memperlakukan alam. Menurutnya, ada setidaknya empat hal penting yang bisa menjadi dasar umat Islam dalam merawat lingkungan.
Habib Ja’far menyebut hal pertama yang perlu dibenahi adalah cara pandang manusia terhadap lingkungan. Modernisme, katanya, membuat manusia melihat alam hanya sebagai objek yang bisa mereka eksploitasi. Padahal, Islam mengajarkan sebaliknya.
BACA JUGA: Ponpes Jalaluddin Ar-Rumy Jember Ajak Santri Peduli Lingkungan
Bagi Habib Ja’far, lingkungan harus mendapatkan perlakuan sebagai subjek, sama seperti manusia yang memperlakukan diri sendiri. “Jangan lakukan sesuatu pada lingkungan yang kita sendiri tidak mau mengalaminya,” tambahnya.
Habib Ja’far juga memperkenalkan istilah Eco-sufisme. Ia merujuk pada ajaran Islam bahwa seluruh ciptaan Allah, termasuk benda mati, bertasbih kepada-Nya. Artinya, semua ciptaan memiliki jiwa.
“Nabi Muhammad SAW bahkan memberi nama pada benda-benda yang beliau miliki, bukan hanya pada hewan. Itu bentuk penghormatan kepada benda mati,” kata Habib Ja’far.
Dengan cara pandang ini, manusia harus dapat memperlakukan lingkungan dengan penghormatan, seolah-olah ia juga merasakan sakit ketika dirusak.
Tokoh Agama Berperan Besar
Selain itu, Habib Ja’far juga menjelaskan tentang konsep ekoteologi. Dalam konsep ini, semesta bukan sekadar ciptaan Tuhan, tetapi juga pertanda keberadaan-Nya.
“Saintis yang meneliti manusia atau lingkungan itu sebenarnya sedang ngaji. Mereka juga ulama, karena meneliti ayat-ayat Allah yang terhampar di alam,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, merusak lingkungan berarti merusak segala milik Allah di bumi. Dalam konteks keislaman, hal ini bukan hanya kesalahan sosial, tetapi juga menimbulkan dosa.
Melihat permasalaan lingkungan yang kian kompleks, Habib Ja’far juga mengajak para pendakwah muslim untuk menjadikan isu lingkungan sebagai bagian dari materi dakwah. Salah satu ruang yang sangat potensial adalah khutbah Jumat.
“Bayangkan kalau setiap bulan sekali khutbah Jumat di masjid-masjid besar membahas tentang kesadaran lingkungan. Kalau nasihat datang dari tokoh agama, biasanya lebih kuat dan jamaah lebih menghayati,” jelasnya.
Pelestarian Lingkungan Tercermin dalam Pendidikan Islam
Pembelajaran pelestarian lingkungan kini juga tercermin dalam program pendidikan Islam di sejumlah pesantren. Salah satunya Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung. Pesantren ini tidak hanya mengajarkan nilai agama, tetapi juga memadukannya dengan praktik ramah lingkungan.
“Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan pentingnya menjaga alam, dan posisi manusia sebagai khalifah (pemimpin),” ujar Manager Agribisnis Pangan Ramah Lingkungan Pesantren Al-Ittifaq, Silvie Fauziah .
Pesantren yang berdiri sejak 1934 ini awalnya menghadapi tantangan besar. Pada 1970-an, masyarakat sekitar enggan bertani dan lebih memilih merantau. Melihat kondisi itu, pesantren memberi teladan dengan mengolah lahan sendiri. Santri mulai menanam buncis yang kemudian mereka tukar dengan beras untuk kebutuhan pangan.
Namun, bertani di lereng Gunung Patuha tidak mudah. Pemasaran hasil panen terasa sulit karena akses jalan terbatas. Para santri pun bergotong royong membuka jalan sepanjang satu kilometer dengan peralatan seadanya.
BACA JUGA: Jakarta Osoji Club, Ajak Masyarakat Indonesia Terapkan Budaya Bersih Negeri Sakura
“Tugas santri waktu itu ada tiga yaitu mengaji, bertani, dan membuat jalan. Setelah jalan rampung, masyarakat kembali tertarik bertani. Produk pesantren bahkan berhasil masuk supermarket pada 1993,” tambah Silvie.
Tantangan lain muncul ketika semangat bertani mendorong penebangan hutan besar-besaran. Kawasan Kawah Putih sempat gundul dan rawan longsor. Menyadari dampaknya, pesantren memulai gerakan penghijauan dengan menanam 100 ribu pohon kayu putih, mahoni, dan jati di kawasan Rancabali. Santri telah menjadi pelopor dalam gerakan ini, sehingga petani pun ikut terlibat.
“Alhamdulillah, akhirnya masyarakat sadar pentingnya menanam. Dari situ, kesadaran menjaga lingkungan tumbuh kembali,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































