Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Perspektif Agama Islam

Reading time: 2 menit
Sesi dalam ICCB 2019, peran pemuka agama dalam pelestarian alam. Foto : istimewa

Kuala Lumpur (Greeners) – Menjaga kelestarian alam selayaknya memang merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat, suku, budaya, dan agama. Pada salah satu sesi dalam International Congress for Conservation Biology (ICCB) 2019 di Kuala Lumpur, dibahas tentang upaya kelompok agama Islam dalam mendorong konservasi keanekaragaman hayati.

Hadir sebagai pembicara, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (PLH & SDA MUI), Dr. Hayu Susilo Prabowo, mengatakan bahwa saat ini MUI memiliki enam hukum fatwa MUI untuk melindungi lingkungan, yakni fatwa satwa langka, karhutla, pengelolaan sampah, daur ulang air, air sanitasi, dan penambangan ramah lingkungan.

“Untuk masalah konservasi, permasalahannya berada di moral, bukan masalah teknis atau ilmu hayati. Namun, moral ini lah yang harus diperbaiki caranya dengan moral juga pendekatannya. Salah satunya dengan moral keagamaan dengan bahasa kemanusiaan,” ujar Hayu saat ditemui usai sesi pembukaan ICCB, Kuala Lumpur, Senin (22/07/2019).

BACA JUGA : Seruan Greenpeace dan Nahdlatul Ulama Agar Masyarakat Pantang Sampah Plastik

Hayu mengatakan bahwa dakwah yang menyinggung tentang lingkungan ini dinilai efektif untuk memberikan edukasi bagaimana cara menjaga kelestarian alam pada para jamaah. Oleh karenanya, dakwah lingkungan ini sangat di dorong MUI untuk terus dilakukan.

Untuk menjaga keseimbangan ekosistem, MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Mengingat bahwa firman Allah SWT memerintahkan untuk berbuat kebajikan (ihsan) antar sesama makhluk hidup termasuk di dalamnya dalam masalah satwa langka.

Dr. Hayu Susilo Prabowo Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI. Foto : www.greeners.co/Dewi Purningsih

“Dijelaskan bahwa berbahaya jika kita membunuh seekor harimau yang nantinya akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan bisa membuat mudharat (rugi) kita sendiri. Membunuh pun juga merupakan perlakuan dosa. Jika hukum negara tidak bisa ditegakkan, hukum agama akan ditegakkan di akhir hayat,” ujarnya.

Hayu mengatakan bahwa fatwa dan dalil memiliki dua akar pemikiran yakni naqal dan akal. Fatwa ada karena dicipatakan dan dibuat karena adanya permintaan dan isu di masyarakat. Pembentukan fatwa lingkungan ini pun melibatkan masyarakat, pemerintah, dan ahli.

Hal senada disampaikan Dr. Fachruddin Mangunjaya, Ketua Pusat Pengajian Islam PPI Universitas Nasional ini menyampaikan bahwa fatwa basisnya dari Al-Quran, Hadist serta pendapat Ulama (ijtihad).

BACA JUGA : Eco Masjid Diharapkan Mampu Menghadapi Ancaman Krisis Air

“Jadi 3 faktor itu merupakan satu pararel, dan tidak bisa dipisahkan antara lingkungan dan kehidupan manusia begitu dalam Islam. Semuanya saling berkesinambungan,” ujar Fachruddin.

Fachruddin melanjutkan bahwa hukum islam dan hukum positif (sesuai Undang-Undang) harus dibedakan. Karena hukum fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini digunakan sebagai penguatan hukum pemerintah yang sudah ada.

“Karena memang MUI bagian entitas negara untuk memperkuat sesuatu yang sudah ada karena prinsip negara kita ini kolaboratif,” ujar Fachruddin.

Penulis: Dewi Purningsih

Top