Jangan Anggap Biasa Cuaca Ekstrem, Ini Alarm Krisis Iklim

Reading time: 3 menit
Cuaca ekstrem merupakan alarm krisis iklim. Foto: BNPB
Cuaca ekstrem merupakan alarm krisis iklim. Foto: BNPB

Jakarta (Greeners) – Hujan deras masih melanda sejumlah wilayah Indonesia pada bulan Juli ini. Padahal, periode tersebut seharusnya merupakan puncak musim kemarau. Perubahan pola cuaca ini bukan hal yang wajar, melainkan alarm krisis iklim semakin nyata.

Banjir melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti Jabodetabek, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi karena musim kemarau belum sepenuhnya mendominasi.

Menurut BMKG, kondisi cuaca yang tidak stabil merupakan imbas dari dinamika atmosfer yang tidak biasa. Di antaranya, lemahnya monsun Australia dan suhu muka laut yang tetap hangat. Kemudian, dipicu aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby. Faktor-faktor ini memicu curah hujan tinggi di waktu yang seharusnya kering.

Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa cuaca ekstrem ini bukan sekadar anomali musiman, melainkan dampak nyata krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh pemegang kebijakan. Krisis iklim dipicu oleh emisi gas rumah kaca dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif. Hal tersebut telah mengacaukan sistem iklim dan meningkatkan risiko bencana di berbagai wilayah Indonesia.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan bahwa cuaca esktrem dan musim yang tidak teratur ini tidak bisa lagi dinormalisasi. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia.

“Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Bondan dalam keterangan tertulisnya.

BACA JUGA: Musisi Indonesia Kembali Suarakan Krisis Iklim Lewat Album Sonic/Panic

Greenpeace menyerukan kepada pemerintah untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam.

Cuaca Ekstrem Mengintai

BMKG juga melaporkan hingga akhir Juni 2025, baru sekitar 30 persen zona musim di Indonesia yang benar-benar memasuki musim kemarau. Sebaliknya, sebagian besar wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih berisiko tinggi mengalami hujan sedang hingga lebat serta petir dan angin kencang dalam sepekan ke depan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa dinamika atmosfer yang kompleks masih memicu terbentuknya awan-awan konvektif penyebab hujan deras. Fenomena seperti gelombang ekuatorial Rossby dan Kelvin, zona konvergensi dan pertemuan angin, serta potensi sirkulasi siklonik di sekitar Samudra Hindia dan Pasifik, terus mendorong pembentukan awan hujan dalam skala luas.

“Meskipun kita sudah memasuki pertengahan musim kemarau, berbagai faktor atmosfer global dan regional masih mendukung terjadinya hujan lebat dan cuaca ekstrem di banyak wilayah,” ujarnya di Jakarta, Jumat (11/7).

BMKG juga memprakirakan bahwa potensi cuaca ekstrem masih tinggi dalam periode 12–18 Juli 2025. Hujan lebat berisiko terjadi di berbagai wilayah. Di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan, dengan status siaga yang telah dikeluarkan.

Atasi Krisis Iklim, Hentikan Energi Fosil

Dalam mengatasi krisis iklim ini juga perlu upaya serius. Menurut Greenpeace Indonesia, pemerintah perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan. Sayangnya, dalam kondisi krisis iklim yang semakin parah, Indonesia masih besar untuk produksi batu bara.

Hingga 2024, Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton. Jumlah ini melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton).

“Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih,” kata Bondan.

BACA JUGA: Jazz Gunung 2014; Sedekah Bumi Lewat Berbunyi

Sementara itu, kebijakan energi yang pemerintah keluarkan melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) semakin jauh dari komitmen transisi energi. Bahkan, masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060.

Dalam sosialisasi RUPTL, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt. Kemudian, pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.

Bondan menegaskan bahwa pemerintah harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Menurutnya, warga yang akan terus menjadi korban terdampak dari krisis ini.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top