Jakarta (Greeners) – Tim riset dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali melakukan survei paleotsunami di wilayah Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul pada Mei 2025. Pada survei sebelumnya, tim mencatat adanya lapisan endapan tsunami purba, salah satunya diperkirakan berasal dari kejadian tsunami sekitar 1.800 tahun yang lalu.
Survei tersebut sebelumnya berlangsung pada 2006 hingga 2024. Endapan tersebut tersebar di wilayah selatan Jawa, seperti Lebak, Pangandaran, Kulon Progo, hingga Pacitan. Kemudian, untuk melengkapi temuan tersebut, pada Mei 2025, BRIN melanjutkan kegiatan survei kembali di wilayah tersebut.
Penelitian ini terfokus pada pencarian jejak tsunami yang lebih muda usianya. Sebab, secara hipotesis perulangan gempa besar dengan magnitudo >9.0 di selatan Jawa adalah sekitar 675 tahun sekali.
BACA JUGA: Rehabilitasi 600.000 Ha Mangrove, Reduksi Bencana Gairahkan Ekonomi
Periset Bidang Sedimentologi BRIN, Purna Sulastya Putra mengungkapkan bawa temuan endapan tsunami dengan umur yang sama di berbagai lokasi sepanjang selatan Jawa, mengindikasikan bahwa peristiwa tersebut sangat besar (tsunami raksasa). Peristiwa ini kemungkinan merupakan akibat dari gempa megathrust bermagnitudo 9 atau lebih, seperti yang terjadi pada tsunami Aceh 2004.
Purna mengambahkan, lokasi posisi temuan ini berjarak hanya sekitar dua kilometer sebelah timur dari lokasi Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Bandara tersebut memiliki jarak lebih dekat dengan bibir pantai sekitar 300 meter. Namun, tidak memiliki fasilitas penahan tsunami yang memadai.
“Berbeda halnya dengan Bandara Sendai di Jepang, yang berjarak satu kilometer dari bibir pantai. Meskipun sudah ada tanggul dan hutan buatan, tetap terdampak parah oleh tsunami raksasa Tohoku tahun 2011,” ujar Purna.
Ragam Metode Penelitian Jejak Tsunami
Metode penelitian ini adalah pemboran tangan, trenching atau pembuatan kolam paritan, dan pemetaan LiDAR. Hasil trenching di kawasan Kulon Progo membuahkan hasil berupa penemuan tiga lapisan pasir yang diduga kuat sebagai endapan tsunami purba. Lapisan tersebut mengandung foraminifera laut dan memiliki struktur khas akibat hempasan gelombang besar.
Purna menerangkan bahwa salah satu lapisan yang tim temukan diduga berasal dari kejadian tsunami sekitar 1.800 tahun lalu. Ia juga menambahkan bahwa terdapat lapisan-lapisan lain yang usianya lebih muda. Ini mengindikasikan bahwa tsunami besar kemungkinan telah terjadi berulang kali di wilayah tersebut.
Saat ini, proses analisis terhadap sampel-sampel sedimen tersebut masih berlangsung. Sampel dengan analisis radiocarbon dating sedang dikirim ke laboratorium luar negeri untuk mengetahui waktu kejadian tsunami purba.
BACA JUGA: Periset BRIN: Masyarakat Perlu Memiliki Peta Bahaya Tsunami
“Temuan paleotsunami ini bukan sekadar catatan akademik. Data tersebut sangat penting untuk menyusun zonasi wilayah rawan bencana, menjadi pertimbangan tata ruang dan pembangunan wilayah pesisir, serta meningkatkan kesadaran publik termasuk simulasi evakuasi tsunami (tsunami drill). Khususnya, di kawasan wisata Pantai,” ujar Purna.
Purna berharap, temuan ini menjadi bagian dari pengambilan kebijakan berbasis data ilmiah. Sehingga, mitigasi bencana dapat dilakukan secara lebih tepat, efektif, dan menyeluruh.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































