Kantong Plastik Dilarang, Tapi Mengapa Masih Bebas di Pasar?

Reading time: 3 menit
Diskusi kantong plastik. Foto: Dini Jembar Wardani
Diskusi kantong plastik. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Penggunaan kantong plastik sekali pakai masih marak di pasar tradisional, termasuk Jakarta. Meski sudah ada aturan dan solusi seperti penyediaan tas serta wadah guna ulang, kebiasaan masyarakat belum banyak berubah. Perlu sistem yang lebih tegas dan terstruktur dari pemerintah dan petugas pasar untuk menekan penggunaan plastik.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya telah menerapkan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat sejak 1 Juli 2020. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Namun dalam praktiknya, peraturan ini belum cukup kuat untuk membatasi penggunaan plastik oleh masyarakat secara luas.

Upaya lain juga terus dilakukan untuk mendukung perubahan perilaku masyarakat. Salah satunya datang dari Dietplastik Indonesia, yang menyediakan dropbox guna ulang di sejumlah lokasi, termasuk di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Namun, menurut Senior Research Lead Dietplastik Indonesia, Zakiyus Shadicky, pemerintah masih belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengelola sampah secara menyeluruh. Salah satu masalah utama adalah paradigma lama pemerintah daerah yang masih berfokus pada sistem “kumpul-angkut-buang”, bukan pada pengurangan dan pengelolaan berkelanjutan.

“Sistem pengelolaan tempat pembuangan sementara (TPS) juga belum seragam. Ada TPS yang berbentuk bangunan, ada yang berupa gerobak, bahkan titik kumpul tukang gerobak pun disebut TPS. Ini membuat pengelolaannya tidak standar,” ungkap Zaki dalam diskusi Pawai Bebas Plastik, Minggu (27/7).

Kantong Plastik Masih Dominan

Hasil pemantauan Greeners di Pasar Tebet Barat menunjukkan bahwa penggunaan kantong plastik masih sangat dominan. Meskipun dropbox guna ulang sudah tersedia, sebagian besar pelanggan masih banyak yang menggunakan kantong plastik sekali pakai.

Sari, salah satu pedagang di pasar tersebut, menyampaikan bahwa memang sudah mulai ada konsumen yang membawa tas belanja sendiri. Namun, untuk bahan makanan, penggunaan wadah guna ulang seperti kotak makan atau “tinwall” masih jarang ia temui.

“Respons saya melihat ada yang bawa tas belanja dan wadah sendiri itu bagus, karena bisa bantu kurangi plastik. Namun, memang yang pakai wadah masih sangat sedikit,” ujar Sari kepada Greeners.

Meski sudah ada aturan pelarangan, Sari mengaku masih tetap menyediakan kantong plastik bagi pelanggannya. “Sebagai pedagang, susah kalau kita enggak sediain kantong plastik. Pelanggan kadang nggak bawa wadah sendiri, terus belanjanya juga macam-macam, jadi tetap harus pakai plastik,” tambahnya.

Menurutnya, agar aturan ini benar-benar bisa diterapkan, perlu ada sistem yang jelas dan tegas dari pemerintah dan petugas pasar. “Kalau dari pemerintahnya enggak tegas, ya, kami juga bingung. Kami cuma pedagang kecil, bukan pelopor,” ujarnya.

Penggunaan kantong plastik sekali pakai masih marak di pasar tradisional. Foto: Freepik

Penggunaan kantong plastik sekali pakai masih marak di pasar tradisional. Foto: Freepik

Belum Siap dengan Sistem Sampah Terpilah

Masalah lain yang turut memperkuat tantangan ini adalah belum siapnya sistem pengangkutan sampah terpilah. Zaki menyoroti bahwa di banyak kasus, meskipun masyarakat sudah memilah sampah dari rumah, pada saat pengangkutan, petugas justru kembali mencampur sampah tersebut.

“Ini bikin masyarakat jadi nggak percaya. Buat apa kami pilah kalau nanti juga mereka satuin lagi? Akhirnya pemilahan pun jadi percuma,” jelasnya.

Solusinya, kata Zaki, kembali lagi pada peningkatan kapasitas pengelolaan dan alokasi anggaran. Ia menyebut bahwa di Jakarta, sebagai ibu kota negara, alokasi anggarannya untuk pengelolaan sampah masih di bawah 1% dari anggaran daerah. Angka ini jauh dari rekomendasi standar global, yaitu sekitar 3%.

Dengan berbagai tantangan tersebut, sistem guna ulang bisa jadi salah satu solusi jangka panjang yang perlu penguatan secara serius, baik dari sisi kebijakan, infrastruktur, maupun edukasi publik.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top