33 Juta Anak Indonesia Rentan Terpapar Cat Mengandung Timbal

Reading time: 3 menit
Di Indonesia masih beredar cat bertimbal yang tempat bermain anak gunakan. Kondisi ini mengancam kesehatan anak. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Cat mengandung bahan timbal yang beredar luas di Indonesia kerap digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk memperindah tempat bermain anak. Padahal, berdasarkan penelitian Nexus3 Foundation, sebanyak 73 persen cat yang dipakai dalam area bermain masih mengandung timbal, sebanyak 33 juta anak berisiko terpapar timbal.

Toxic Program Office Nexus3 Foundation Sonia Buftheim mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 terdapat 33 juta anak berada di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sementara berdasarkan penelitian Nexus3 Foundation pada tahun 2021, sebanyak 73 persen cat mengandung timbal ada di tempat bermain anak.

“Jadi kami mengasumsikan dan memproyeksikan sebanyak 33 juta anak PAUD ini terancam paparan timbal. Mengingat mereka kerap melakukan aktivitas bermain yang mendekatkan mereka dengan paparan timbal,” katanya kepada Greeners, Rabu (29/6).

Padahal, paparan timbal pada cat dapat berakibat fatal terhadap kesehatan anak ke depan. Sonia menyebut, studi tentang dampak timbal pada anak-anak Indonesia memang masih minim. Akan tetapi, berdasarkan studi luar negeri paparan timbal dapat menyebabkan penurunan IQ hingga kelainan syaraf seperti autis.

Terlebih, anak-anak sangat rentan terpapar timbal karena belum stabilnya tumbuh kembang proteksi tubuh mereka. Berdasarkan penelitian organisasi kesehatan dunia (WHO) anak-anak menyerap paparan timbal 50 persen lebih banyak daripada orang dewasa.

“Itulah kenapa anak-anak sangat rentan terpapar paparan pencemar ini karena belum memiliki proteksi maksimal,” imbuhnya.

Paparan Cat Mengandung Timbal Sebabkan Kerugian 20 Kali Lipat

Sementara itu, tahun 2013 National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat memperkirakan biaya ekonomi dari paparan timbal pada masa kanak-kanak di Indonesia sekitar US$ 37,9 miliar per tahun.
Biaya ekonomi tahunan kerugian akibat cat mengandung bertimbal sebesar US$ 37,9 miliar. Tidak ada artinya jika dibandingkan dengan total pasar cat dekoratif dan pelapis di Indonesia yang perkiraanya mencapai US$ 1,86 miliar.

Paparan cat mengandung timbal di Indonesia menyebabkan kerugian pada anak 20 kali lipat dibanding keuntungan dari industri cat. Itu artinya, sambung Sonia dalam hal ini sebenarnya Indonesia mengalami kerugian besar tapi karena kerugiannya tak terlihat. Seperti penurunan IQ namun kerap kali fenomena ini tidak terlihat.

“Kandungan cat mengandung bertimbal tinggi tidak bisa kita lihat langsung. Tetapi harus melalui pengujian. Misalnya, paparan timbal pada anak-anak juga hanya bisa dideteksi dengan cara mengambil darah mereka dan melakukan uji kecerdasan atau IQ,” ungkap Sonia.

Tahun 2020-2021 Nexus3 meneliti 120 sampel cat secara acak dari beragam wilayah di Indonesia. Mereka menemukan bahwa sekitar tiga perempat sampel cat yang Nexus3 analisis tidak memenuhi standar yang global tetapkan, yakni 90 bagian per juta (ppm).

Temuan Nexus3 menyatakan sebanyak 88 dari 120 sampel cat atau 73 persen sampel cat mengandung timbal dengan konsentrasi di atas 90 ppm. Tak hanya itu, 47 sampel cat atau 39 persennya mengandung timbal di atas 10.000 ppm dan ada cat kayu besi mengandung 150.000 ppm.

Perusahaan Cat Menggunakan Standar Ganda

Temuan menarik Nexus3 lainnya, ada perusahaan dari negara lain seperti Jepang yang menggunakan standar WHO dalam produksi di negaranya. Tapi mereka menggunakan standar berbeda saat memproduksinya di Indonesia. Sonia menyoroti standar ganda ini dengan pembenaran mereka tidak melanggar aturan apapun.

“Itu karena memang tak ada ketentuan aturan standar di Indonesia, makanya mereka bisa menerapkan standar ganda,” ujar dia.

Saat ini, Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia telah menetapkan standar cat dekoratif pelarut organik SNI 8011:2014 dengan standar 600 ppm. Kemudian bulan Mei lalu ada revisi yaitu 90 ppm tapi masih bersifat sukarela.

Sonia mendorong, agar pemerintah tak sekadar menyusun peraturan pelarangan dalam pembuatan, impor dan ekspor. Selain itu juga pada distribusi penjualan cat dengan konsentrasi melebihi 90 ppm. Pemerintah pelu memperkuat aturan dan bukan sekadar standar SNI yang bersifat tak mengikat.

Selain itu, ia menekankan agar produsen menyajikan secara terbuka kandungan bahaya label kaleng cat agar pembeli tahu. Peran produsen cat yang ramah lingkungan berkontribusi mendukung Indonesia mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan. Terutama target 3.9 tentang kesehatan bagi semua dan target 12.4 tentang sustainable consumption and production.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top