Perdagangan Karbon, Diduga Jadi Celah Pencemar Terus Beremisi

Reading time: 3 menit
PLTU akan menjadi sektor pertama yang kena pajak karbon. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Perdagangan karbon yang menjadi salah satu skema menekan laju perubahan iklim diperkirakan hanya membuka ruang negara maju dan perusahaan besar untuk terus berpolusi. Asumsinya, jika sudah membayar atas beban emisi yang keluar maka kewajiban terhadap bumi selesai.

Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, skema perdagangan karbon ini seharusnya menekan emisi yang telah dikeluarkan, bukan memberi ruang bagi para negara pencemar untuk terus mengeluarkan emisi.

Menurutnya, skema ini tetap memberikan ruang kepada negara-negara maju untuk berpolusi. Apabila ditarik pada level perusahaan, maka mekanisme carbon offsetting ini memberikan hak poluter kepada korporasi-korporasi tersebut.

“Tidak ada keinginan untuk menekan emisinya tetapi malah memberikan hak melalui carbon offsetting,” kata Iqbal dalam diskusi virtual Dagang Karbon: Solusi atau Masalah Baru Krisis Iklim? di Jakarta, Selasa (9/11).

Iqbal menyebut, perdagangan karbon ini merupakan praktik greenwashing. Praktik ini merupakan strategi pemasaran perusahaan supaya terlihat baik dan ramah lingkungan. Padahal sebaliknya, carbon offset ini justru malah berpotensi memperpanjang keberadaan pencemaran lingkungan.

“Maka kita menyebut ini sebagai sebuah kebohongan yang berbahaya. Carbon offset bukanlah solusi untuk mencegah terjadinya krisis iklim yang sudah terjadi saat ini. Carbon offset hanya sebuah mekanisme agar kemudian para pencemar melegitimasi pencemaran mereka dengan menggunakan hutan-hutan kita yang ada saat ini,” tegas Iqbal.

Masyarakat adat punya kearifan menjaga alam dan hutan. Foto: Shutterstock

Perampasan Wilayah Adat Atas Nama Penanganan Karbon

Skema perdagangan karbon ini juga memberikan ancaman terhadap perampasan lahan dari masyarakat adat. Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menyebut, banyak koboi karbon yang muncul mengambil alih lahan dengan mengatasnamakan penanganan karbon tanpa penjelasan lebih lanjut.

“Ada banyak koboi karbon yang menyatakan bahwa kita sedang dalam era penanganan karbon tanpa menjelaskan dampak dan manfaatnya bagi masyarakat adat,” imbuhnya.

Ketiadaan transparansi dan penjelasan proses pembangunan di wilayah adat akibat perdagangan karbon menjadi kebohongan yang justru melegalisasi perampasan hak masyarakat adat.

Arman menyebut, pemerintah masih memandang bahwa sejumlah wilayah adat yang ada merupakan wilayah tak bertuan. Sehingga banyak wilayah adat diklaim secara sepihak oleh negara melalui penetapan kawasan hutan negara. Padahal ini merupakan hak purba bagi masyarakat adat.

Berdasarkan data tahun 2017, menurut analisis AMAN bahwa masyarakat adat sedikitnya dapat menyumbang lebih dari 10 juta stok karbon. Dengan catatan, apabila wilayah masyarakat adat tersebut dapat perlindungan dan pengakuan keberadaannya.

“Ada mitos yang negara rawat ini wilayah-wilayah itu tak bertuan. Hal ini mengabaikan posisi masyarakat adat yang selama ini berkontribusi terhadap pelestarian hutan. Peran masyarakat terabaikan di dalam proses-proses perundingan selama ini,” ungkap Arman.

Perdagangan Karbon Untuk Mengatasi Krisis Iklim?

Saat ini Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB) COP-26 sedang berlangsung. Konferensi ini membahas tentang ancaman krisis iklim dalam menekan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. COP-26 ini akan membahas dan memutuskan beberapa agenda pokok yang tertuang dalam Kesepakatan Paris, salah satunya implementasi artikel 6 terkait dengan carbon offset.

Carbon offset merupakan negoisasi yang mendorong carbon offset yang berbasis pada mekanisme pasar (market mechanism) sebagai sumber pembiayaannya. Mekanisme ini memberikan ruang bagi para negara pencemar untuk terus memproduksi dan membenarkan pencemarannya dengan klaim karbon kredit.

Climate Law and Policy Specialist Stephen Leonard mengatakan, negosiasi dalam COP-26 Glasgow ini menjadi yang paling sulit dan berjalan alot. Hal ini terjadi karena banyak ketegangan dalam mengambil keputusan.

“Ini negosiasi yang paling sulit dan alot yang pernah saya lihat terkait UN Climate Change Conference setelah bertahun-tahun terlibat di dalamnya. Ada ketegangan yang terjadi. Terdapat negara-negara yang tidak menginginkan mekanisme pasar dan juga ada negara-negara yang menginginkan mekanisme pasar,” katanya.

Leonard menambahkan, ada berbagai isu teknis menjadi penyebab negara sulit memutuskan negosiasi artikel 6 tersebut.

Penulis : Fitri Annisa

Top