Ketergantungan Energi Fosil Tingkatkan Risiko dan Beban Kesehatan Masyarakat

Reading time: 2 menit
Ketergantungan energi fosil tingkatkan risiko dan beban kesehatan masyarakat. Foto: Freepik
Ketergantungan energi fosil tingkatkan risiko dan beban kesehatan masyarakat. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Ketergantungan energi fosil yang terus-menerus menyebabkan dampak kesehatan yang sangat besar. Masyarakat Indonesia juga harus menanggung risiko dan biaya kesehatan yang melonjak akibat pembakaran energi fosil.

Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru dari Global Climate and Health Alliance (GCHA) yang bertajuk “Cradle to Grave: The Health Toll of Fossil Fuels and the Imperative for a Just Transition”. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa setiap tahapan energi fosil sejak masa ekstraksi hingga pembuangan limbah telah meninggalkan dampak kesehatan yang harus masyarakat tanggung.

Polusi dari batu bara, minyak, dan gas dapat meningkatkan risiko kesehatan. Di antaranya bayi lahir prematur, keguguran, asma pada anak hingga penyakit jantung, kanker hingga stroke pada orang dewasa. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan.

Menurut Ketua Kampanye GCHA, Shweta Narayan, meskipun ada teknologi penangkapan karbon, bahan bakar fosil akan tetap meracuni, menggusur, dan mengganggu stabilitas manusia. “Bahan bakar fosil tidak hanya menjadi masalah iklim, tetapi juga mendorong darurat kesehatan masyarakat,” kata Shweta dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/10).

Besarnya Dampak Batu Bara

Di banyak negara, termasuk Indonesia, masyarakat di sekitar wilayah operasional migas, lahan tambang, dan PLTU batu bara menjadi pihak yang terkena dampaknya. Salah satunya, laporan ini mengungkapkan kasus tumpahan lumpur batu bara di Sungai Malinau, Kalimantan Utara pada 2021.

Tumpahan tersebut telah mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Selain itu, partikel mikroskopis (PM2.5) bisa menembus paru-paru dan aliran darah. Partikel tersebut terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida, dan debu dari PLTU. Hal itu dapat menyebabkan kematian dan berbagai masalah kesehatan lain.

Kasus serupa jamak terjadi di Pulau Kalimantan. Daerah tersebut memiliki sumber daya batu bara yang melimpah sehingga menjadi rumah bagi perusahaan-perusahaan batu bara kakap. Namun, perusahaan energi fosil jarang menanggung seluruh biaya pembersihan, perbaikan, dan remediasi pascabencana terkait dampak yang timbul. Sehingga, biaya tersebut secara otomatis akan menjadi beban pribadi masyarakat.

Program and Policy Manager Yayasan Indonesia CERAH, Wicaksono Gitawan mengatakan bahwa pemerintah harus mendorong transisi energi dari penggunaan batu bara dan energi fosil lainnya.

“Sudah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa operasional PLTU berdampak negatif bagi masyarakat. Sudah saatnya pemerintah sadar bahwa keselamatan masyarakat harus jadi prioritas nomor satu,” kata Wicaksono.

Di sisi lain, secara global, subsidi energi fosil telah mencapai US$ 7 triliun pada 2022. Menurut Wicaksono, hal tersebut mencerminkan bahwa selama ini subsidi justru mengucur ke sektor yang menjadi penyebab penyakit dan kematian dini.

Selain itu, saat ini institusi keuangan dan perbankan global masih terus mendanai sektor energi fosil. Padahal, mereka telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Laporan menunjukkan, JPMorgan Chase misalnya, telah membiayai sektor bahan bakar fosil hingga US$ 317 miliar sejak Perjanjian Paris.

Pentingnya Transisi Energi yang Adil

GCHA menekankan pentingnya transisi energi yang adil, terutama bagi negara-negara produsen batu bara seperti Indonesia. Direktur Eksekutif GCHA, Jeni Miller mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan di dunia harus mengakhiri kerusakan akibat bahan bakar fosil. Salah satu caranya yaitu beralih ke energi yang lebih bersih.

“Respons yang tepat akan membuat pemerintah menghentikan proyek migas dan batu bara, dan mengakhiri subsidi langsung US$ 1,3 triliun pada sektor fosil. Sumber daya tersebut seharusnya diinvestasikan untuk kesehatan masyarakat, energi bersih, dan melindungi masyarakat yang sudah hidup dengan beban polusi dan kerusakan iklim yang paling berat,” ujarnya.

Menurutnya, keberanian politik ini harus tertuang dalam pertemuan COP30 di Belem, Brasil pada November mendatang. Momen ini menjadi penting untuk pemerintah bertindak, tidak hanya untuk iklim, tetapi juga untuk kesehatan dan masa depan masyarakat.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top