Penyebab Banjir di Sentani Bukan Hanya Faktor Alam

Reading time: 3 menit
sentani
Banjir yang melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Sentani, Papua pada Sabtu lalu menyebabkan 89 orang meninggal dunia. Foto: BNPB

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa bencana banjir yang melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Sentani, Papua pada Sabtu lalu disebabkan oleh faktor curah hujan yang tinggi. Berbeda dengan KLHK, Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa ada kombinasi antara faktor alam dan ulah manusia dalam bencana ini.

Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK, IB Putera Parthama mengatakan penyebab banjir di Sentani disebabkan oleh curah hujan yang sangat ekstrem disertai intensitas hujan yang sangat tinggi serta debit puncak banjir yang melebihi pengaliran daerah tangkapan air (DTA). Menurut Putera, tutupan hutan di DAS Sentani terhitung baik dan berkisar 55% dari total area DAS. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pohon yang tercabut dari akarnya serta adanya longsor pada area hulu DTA.

Putera menjelaskan bahwa bencana banjir bandang di Sentani Papua disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi mulai pukul 19.00 sampai dengan 23.30 WIT. Data menunjukkan bahwa debit air di wilayah Sentani pada malam tersebut melebihi kondisi normal mencapai 193,21 m3/detik yang menyebabkan debit aliran tinggi. Sementara itu, mulut sungai terhitung kecil dengan kapasitas tampung yang rendah yaitu hanya 91,38 m3/detik.

“Faktor lain yang menyebabkan bencana banjir bandang Sentani adalah kondisi hulu DAS yang tidak stabil. Hulu DAS tersebut memiliki kontur batuan yang kedap air sehingga membentuk bendung alami yang mudah jebol pada saat hujan tinggi. Adanya perluasan kota dan permukiman di bagian hilir (daerah terdampak) turut memberikan dampak yang cukup signifikan,” ujar Putera saat konferensi pers di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (19/03/2019).

BACA JUGA: Banjir Bandang Terjang 9 Kelurahan di Sentani Jayapura 

Putera menambahkan bahwa di sekitar banjir bandang juga tidak ditemukan adanya pembalakan liar. Hal tersebut dapat dipastikan dari tidak ditemukannya material kayu bekas tebangan yang hanyut terbawa banjir.

“Pohon-pohon tersebut masih lengkap dengan ranting dan akar-akarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut bukan hasil kegiatan penebangan kayu yang menyebabkan banjir bandang,” ungkap Putera.

Lebih lanjut Putera menjelaskan bahwa luapan air Sungai Sereh/Tahara dan Sungai Kemiri yang masuk ke DAS Sentani berhulu di Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Cagar Alam Pegunungan Cycloop memiliki luas kawasan 31.479,89 hektar dan terdapat area terbuka seluas 2.415 hektar, bersumber dari peta tutupan lahan tahun 2017. Penyebab area terbuka tersebut antara lain pertanian tradisional, permukiman dan areal tidak berhutan.

sentani

Sumber: Presentasi Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL), IB Putera Parthama yang disampaikan dalam konferensi pers di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (19/03/2019).

Dalam presentasinya, Putera menjelaskan pada tahun 1990 tutupan lahan pada DAS Sentani seluas 52,226 ha 1996, lalu menurun menjadi 52,305 ha di tahun 2000, menurun kembali menjadi 48.073 ha di tahun 2017, dan tahun 2018 menjadi 47.716 ha. Dari data ini terdapat penurunan luas tutupan lahan sebesar 5% dari tahun 1996 hingga 2018.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan penyebab banjir ini selain dari faktor alam juga ada faktor ulah manusia karena adanya aktivitas perambahan yang sudah berlangsung sejak tahun 2003 di Cagar Alam Cycloop oleh 43.030 orang (735KK).

“Selain itu terdapat penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada DTA seluas 2.415 ha, penebangan pohon untuk pembukaan lahan, perumahan dan kebutuhan kayu, serta adanya tambang galian,” kata Sutopo pada konferensi pers di BNPB, Senin (18/03/2019).

BACA JUGA: Kearifan Lokal, Mitigasi Bencana yang Terlupakan 

Sementara itu, Kepala Bidang Perubahan Iklim BMKG Kadarsah mengatakan bahwa perusakan lingkungan hanya akan menunggu menjadi bencana ketika alam mulai bekerja (faktor meteorologis). Secara bertahap curah hujan yang ekstrem dan cagar alam yang gundul akhirnya menyebabkan banjir.

“Perubahan iklim mengakibatkan peristiwa ekstrem (salah satunya curah hujan ekstrem) yang semakin sering terjadi. Diperlukan kewaspadaan dan antisipasi yang lebih tinggi di masa depan, gunung-gunung jangan sampai gundul, drainase lebih baik. Kalau hanya menyalahkan curah hujan tinggi, ini masalah yang dihembuskan oleh orang-orang yang merusak atau mengakibatkan kerusakan alam agar tidak disalahkan,” kata Kadarsah.

Sebagai informasi, hingga Rabu (20/3/2019) pagi, tercatat 104 orang meninggal dunia, dimana 97 orang korban di Kabupaten Jayapura dan 7 orang korban di Kota Jayapura. Belum semua korban berhasil diindentifikasi. Ada 40 korban meninggal dunia yang belum diidentifikasi sehingga Bupati Jayapura memutuskan korban akan dimakamkan secara massal besok, Kamis (21/3/2019).

Penulis: Dewi Purningsih

Top