Korban Kabut Asap di Sumsel Ajukan Banding ke PN Palembang

Reading time: 2 menit
Korban kabut asap di Sumsel ajukan banding ke PN Palembang. Foto: Greenpeace Indonesia
Korban kabut asap di Sumsel ajukan banding ke PN Palembang. Foto: Greenpeace Indonesia

Jakarta (Greeners) – Kelanjutan tuntutan 11 warga Sumatra Selatan terhadap tiga perusahaan kayu terus berlanjut. Setelah Pengadilan Negeri (PN) Palembang menolak gugatan, kini mereka mengajukan banding.

Dalam keheningan, para korban kabut asap ini menyuarakan jeritan mereka yang tidak majelis hakim dengarkan melalui aksi. Para peserta membawa spanduk bertuliskan Belum Merdeka dari Asap, Pulihkan Gambut Selamatkan Iklim” dan “Forest not Fires”. Mereka juga mengenakan kostum pemadam kebakaran lengkap dan mendatangi destinasi ikonik di Kota Palembang, Jembatan Ampera.

Upaya ini berlangsung bersama Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi, yang ikut melawan atas putusan NO yang majelis hakim terbitkan pekan lalu.

Rendy Zuliansyah, salah satu dari sebelas penggugat, mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan majelis hakim yang menyatakan gugatan mereka tidak dapat diterima. Menurut Rendy, keputusan tersebut menunjukkan bahwa hakim bahkan tidak menyentuh intisari dari gugatan mereka.

“Jadi hanya berhenti di persoalan formil saja. Padahal, gugatan ini adalah salah satu bentuk ikhtiar kami untuk dapat hidup di lingkungan yang bersih dan sehat,” ujar Rendy melansir Greenpeace Indonesia.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, yang terdiri dari Oloan Exodus Hutabarat, Agung Ciptoadi, dan Eduward, memutus untuk tidak menerima gugatan terhadap tiga perusahaan kayu. Di antaranya PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries. Dalam memutus gugatan ini, majelis hakim menganggap bahwa gugatan sebelas korban kabut asap tidak jelas. Sebab, tidak menuntut pemulihan.

Majelis Hakim Menilai Gugatan Tidak Jelas

Sementara itu, gugatan intervensi yang Greenpeace Indonesia ajukan juga dianggap kurang pihak lantaran tidak melibatkan pemerintah dalam tuntutan. Tim kuasa hukum penggugat menilai putusan hakim ini bermasalah. Kemudian, juga menyalahi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Lebih lanjut, salah satu tim kuasa hukum para penggugat, Sekar Banjaran Aji mengatakan bahwa penggugat telah menuntut restorasi lingkungan yang sebenarnya bagian dari pemulihan dalam petitum. Namun, majelis hakim masih menilai bahwa gugatan kami tidak jelas karena tidak mencantumkan permohonan pemulihan lingkungan.

“Kami menilai hakim telah menyalahi pasal 189 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon atau ultra petita,” kata Sekar.

Tim kuasa hukum juga berpendapat majelis hakim salah kaprah menganggap gugatan intervensi Greenpeace Indonesia kurang pihak. Perma Nomor 1 Tahun 2023 jelas menyatakan bahwa pemerintah tidak wajib menjadi pihak terkait dalam suatu kasus. Selain itu, hak untuk menarik pihak terkait dalam perkara strict liability (pertanggungjawaban mutlak tanpa kesalahan) itu tidak ada pada penggugat.

“Para tergugatlah yang harus memohonkan jika ada pihak terkait perkara. Jika hakim terus menerus salah menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2023, bagaimana korban pencemaran bisa menang menuntut para pencemar?” ujar Sekar.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top