Jakarta (Greeners) – Orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) saat ini menghadapi berbagai ancaman yang serius, salah satunya adalah konflik dengan manusia. Oleh karena itu, upaya mitigasi konflik antara manusia dan satwa tersebut perlu jadi prioritas bersama berbagai pihak.
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wanda Kuswanda, menjelaskan bahwa orang utan tapanuli merupakan spesies kera besar. Spesies tersebut baru teridentifikasi sebagai spesies terpisah dari orang utan Sumatra (Pongo abelii) pada akhir tahun 2017.
Menurut Daftar Merah IUCN, orang utan tapanuli berstatus Kritis (Critically Endangered) atau sangat terancam punah. Sebab, habitatnya sangat terbatas, yaitu hanya berada di Hutan Batangtoru di Provinsi Sumatra Utara. Berdasarkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orang Utan Indonesia 2019–2029, populasi satwa tersebut diperkirakan hanya tersisa antara 577 hingga 760 individu.
Wanda mengatakan bahwa orang utan tapanuli hanya dapat dijumpai di Hutan Batangtoru. Wilayah tersebut meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Luasan Lanskap Batangtoru sekitar 240–280 ribu hektare. Tempat yang menjadi habitat satwa tersebut hanya sekitar 138.435 ha (49%) serta terpisah dalam tiga blok habitat. Orang utan tapanuli sangat menyukai tanaman budi daya yang masyarakat tanam, sehingga dapat menimbulkan konflik.
Ia menambahkan bahwa prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orang utan tapanuli. Mitigasi konflik ini bertujuan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak.
“Terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang mendapat amanah sebagai khalifah di bumi, dengan menyetarakan pemenuhan kepentingan manusia dan kebutuhan untuk orang utan,” ujar Wanda.
Wujudkan Keharmonisan Orang Utan Tapanuli dan Manusia
Sementara itu, koeksistensi atau hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar harus terwujud. Menurut Direktur Belantara Foundation, Dolly Supriatna, salah satu cara untuk mengaplikasikan keharmonisan itu dengan menggunakan pendekatan C2C (Conflict to Coexixtence). Pendekatan ini fokus untuk mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi.
Dolly menjelaskan bahwa pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama. Di antaranya menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan holisme. “Hasil utama dari pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan mengamankan mata pencaharian dan aset masyarakat,” ucapnya.
Dalam mewujudkan koeksistensi antara manusia dengan satwa liar ini juga perlu perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan. Selain itu, manajemen konflik manusia-satwa liar, penelitian ilmiah, hingga kebijakan yang mendukung di tingat pusat dan daerah.
Upaya perlindungan juga memerlukan strategi berbasis masyarakat lokal yang kini sudah mulai berkembang. Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia dan Co-founder Anama Consulting, Sundjaya mengungkapkan bahwa etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka dengan satwa tersebut.
Ia mengatakan bahwa melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat memperkuat strategi dan kebijakan konservasi. Hal ini dapat melibatkan pengetahuan dan budaya masyarakat adat atau komunitas lokal. Terutama untuk mengoptimalkan faktor-faktor yang dapat mendorong partisipasi aktif mereka dalam pelestarian orang utan tapanuli.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































