Jakarta (Greeners) – Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan teknik pemantauan hormon stres melalui analisis feses. Pemantauan ini untuk mengukur tingkat stres orang utan selama proses rehabilitasi dan setelah pelepasliaran kembali ke habitat alaminya agar mereka dapat hidup secara optimal.
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Taufiq Purna Nugraha menjelaskan bahwa kesuksesan reintroduksi orang utan dapat diukur dari dua aspek. Pertama, kesuksesan jangka pendek, yaitu kelangsungan hidup dan kemampuan bereproduksi. Kedua, kesuksesan jangka panjang atau bertahannya populasi satwa yang dilepasliarkan. Salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup mereka adalah tingkat stres.
“Untuk menilai tingkat stres pada orang utan Sumatra yang kembali ke alam, kami memantau hormon stres melalui analisis glukokortikoid atau fecal glucocorticoid metabolites (fGCM) pada fesesnya. Ini sebagai metode non-invasif untuk memantau stress,” kata Taufiq lewat keterangan tertulisnya, Kamis (14/11).
BACA JUGA: Enam Orang Utan Dilepasliarkan di TN Bukit Baka Bukit Raya
Metode ini memberikan sarana yang efektif untuk memantau tingkat stres orang utan. Terutama, selama proses rehabilitasi dan pelepasan kembali ke alam liar tanpa perlu intervensi langsung. Sehingga, dapat memberikan wawasan tentang kondisi kesejahteraan satwa pada orang utan dalam proses adaptasi di habitat barunya.
Temuan dari penelitian ini juga menyoroti pentingnya strategi pelepasan bertahap. Perpanjangan pendekatan soft-release, yaitu dengan memberikan dukungan berkelanjutan dari manusia, seperti sumber pakan, terbukti efektif dalam mengurangi stres pada orang utan.
Awal Pembebasan Orang Utan Stres Tinggi
Taufiq menambahkan bahwa untuk mendukung penelitian ini, BRIN bekerja sama dengan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Kerja sama ini telah membantu dalam pengambilan sampel feses dan menyediakan data penting. Seperti usia, jenis kelamin, kontak dengan manusia, kondisi kesehatan, serta tanda-tanda penyalahgunaan pada orang utan yang terselamatkan.
Sampel feses dari 29 individu orang utan yang berada dalam berbagai fase rehabilitasi, dengan total 324 sampel. Peneliti menggunakan sampel ini untuk mengukur kadar fGCM, yang memberikan gambaran jelas mengenai tingkat stres orang utan.
Taufiq menjelaskan bahwa beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan saat kedatangan, serta asal-usul orang utan (berasal dari pemeliharaan manusia atau alam liar), tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar fGCM pada feses mereka.
Namun, yang menarik adalah kadar fGCM mencapai puncaknya pada fase awal pascapembebasan. Fase ini menunjukkan bahwa orang utan mengalami stres tinggi saat pertama kali beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.
Pada tahap akhir pascapelepasliaran, kadar fGCM kembali normal. Kondisi ini menyoroti pentingnya periode awal untuk intervensi dalam mengurangi stres. Oleh karena itu, dukungan tambahan sangat perlu selama fase awal pasca-pelepasliaran untuk membantu orang utan beradaptasi dengan lebih baik.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia