Jakarta (Greeners) – Rokok kini tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan. Puntung rokok yang dibuang sembarangan juga menimbulkan risiko serius bagi lingkungan. Industri rokok perlu bertanggung jawab atas dampak ekologis yang timbul.
Brand audit oleh Lentera Anak di wilayah Jabodetabek mencatat 18.062 sampah rokok. Sebagian besar berupa puntung rokok yang berasal dari enam produsen rokok nasional terbesar. Temuan ini menunjukkan besarnya kontribusi industri rokok terhadap pencemaran plastik, mikroplastik, dan kontaminan toksik di ruang publik.
Koordinator Campaign Lentera Anak, Effie Herdi, menjelaskan bahwa dari total sampah rokok yang mereka temukan, 93 persen merupakan puntung rokok. Pengumpulan berlangsung dalam waktu hanya 19 jam di area publik seluas 67.204 m². Area tersebut meliputi trotoar, halte, stasiun, terminal, area sekitar sekolah, dan taman. Selain itu, mereka juga menemukan kepadatan rata-rata empat puntung rokok per meter persegi. Artinya, dalam area 100 m² ada sekitar 400 puntung dan 10 kemasan produk rokok.
Hasil audit menunjukkan PT HM Sampoerna (Philip Morris) sebagai pencemar terbesar dengan kontribusi 39,5 persen sampah rokok. Kemudian, Gudang Garam (18,7 persen), dan Djarum (5,7 persen).
“Dari sini terbukti bahwa pola dominasi pencemaran lingkungan konsisten dengan pangsa pasar industri rokok nasional. Semakin besar produksi dan konsumsi suatu merek, maka semakin besar pula kontribusi sampahnya,” tegas Effie.
Ia menambahkan, polusi puntung rokok adalah fenomena keseharian di ruang publik perkotaan yang terjadi sistematis dan meluas. ”Pencemaran bukan akibat perilaku individu, tapi konsekuensi struktural dari desain produk dan absennya regulasi,” ujarnya.
Temuan ini menegaskan perlunya tindakan tegas pemerintah untuk menerapkan prinsip Polluter Pays. Dengan demikian, industri rokok wajib menanggung biaya pembersihan, pemulihan lingkungan, serta dampak ekologis dari produknya.
Selain itu, isu limbah rokok perlu segera masuk ke dalam Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Sampah dan kebijakan kesehatan masyaraka. Hal ini penting sebagai bagian dari upaya mengendalikan polusi plastik secara sistematis.
Industri Rokok Wajib Pulihkan Lingkungan
Sementara itu, saat ini di Indonesia biaya pembersihan puntung rokok hanya dibebankan kepada publik dan pemerintah. Sementara, industri memperoleh keuntungan dari penjualan produk yang menghasilkan limbah beracun.
Menurut Senior Regional Campaign Strategist Greenpeace Southeast Asia, Fajri Fadhillah ini menunjukkan ketidakadilan lingkungan. Sebab, setiap penangggung jawab yang usaha atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
“Industri rokok telah menciptakan polusi. Mereka harus membayar biaya penanganannya. Seharusnya pemerintah menerapkan Polluter Pays Principle untuk memastikan industri rokok menanggung biaya pencemaran yang mereka ciptakan,” kata Fajri.
Menurut Fajri, skema Extended Producer Responsibility (EPR) tidak relevan untuk produk tembakau. Sebab, produk tembakau itu adiktif, beracun, dan tidak bermanfaat sehingga pendekatan EPR justru berisiko menjadi greenwashing dan tidak menurunkan konsumsi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































