Jakarta (Greeners) – Ratusan warga dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat melakukan Aksi Solidaritas Tolak Proyek Geotermal di Gunung Gede Pangrango pada Rabu, (11/12) di depan Pendopo Bupati Cianjur, Jawa Barat. Melalui aksi tersebut, para perempuan menyuarakan kekhawatiran mereka atas pembangunan proyek geotermal di Gunung Gede Pangrango yang berpotensi meningkatkan risiko bencana di daerah tempat tinggal mereka.
Keputusan Menteri ESDM Nomor 2778 Tahun 2014 menetapkan 92.790 hektar kawasan Gunung Gede Pangrango di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur termasuk dalam wilayah kerja panas bumi Gunung Gede Pangrango. Di dalam luasan tersebut termasuk hutan produksi 9.459,249 hektare, hutan produksi terbatas 1.826,294 hektar, dan hutan konservasi 25.380,49 hektare.
Berdasarkan laporan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan CELIOS, rencana pembangunan proyek geotermal berpotensi membawa dampak ekologis bagi ekosistem di sekitarnya. Salah satunya yakni mengancam sumber air bagi penduduk di beberapa wilayah di Jawa Barat dan di Jakarta. Proyek geotermal merupakan proyek yang menghabiskan banyak air karena kebutuhan air untuk aktivitas panas bumi berkisar 40 liter/detik atau sekitar 6.500-15.000 liter air untuk menghasilkan 1 MWe listrik.
Proyek Geotermal Ancam Mata Pencaharian Warga
Bagi warga Desa Sukatani yang kesehariannya menjadi bertani dan berkebun, rencana proyek ini mengancam sumber mata pencaharian mereka. Warga Kecamatan Pacet, Sukatani, Kabupaten Cianjur Ulis Safitri mengungkapkan bahwa aksi ini sebagai upaya untuk menyelamatkan Gunung Gede Pangrango.
“Kami hadir di Pendopo Bupati Cianjur untuk menagih janji saat kampanye yang menyebut akan menolak geotermal, tapi kenyataannya mana? Bupati malah membantu perusahaan. Kami tidak ingin gunung kami rusak karena di situ ada mata pencaharian kami sebagai petani. Kami tidak ingin dicemari, kami ingin menyelamatkan Gunung Gede Pangrango,” ujar Ulis dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/12).
Selain berdampak pada hilangnya sumber air, warga juga khawatir keberadaan proyek geotermal di Gunung Gede Pangrango akan mengancam keselamatan warga akibat bencana. Jarak antara proyek pengeboran geotermal dan pemukiman warga tak lebih dari 1000 meter.
Berbagai Risiko dari Pengeboran Geotermal
Selain itu, Gunung Gede Pangrango merupakan gunung berapi aktif dan berada di sesar aktif Cigenang. Pengeboran geotermal memiliki risiko terkait kegempaan karena injeksi fluida yang memicu pergerakan sesar minor di kawasan aktif tektonik. Warga khawatir penambangan ini akan meningkatkan risiko bahaya bagi warga ketika terjadi bencana.
“Waktu beberapa tahun lalu gempa Cugenang, dampaknya bisa sampai ke Gunung Gede Pangrango. Apalagi gunung ini mau dibor. Kami warga di sini trauma dengan gempa yang lalu, yang mengakibatkan rumah dan sekolah hancur. Kami tidak bisa membayangkan apabila gunung ini dibor. Ini akan memperburuk kondisi kami ketika gempa,” kata mahasiswa dan warga Sukatani, Kabupaten Cianjur, Sarah.
Penggunaan geotermal sebagai salah satu alternatif transisi energi juga dinilai sebagai solusi palsu. Sebab, proyek geotermal telah tercatat memicu kerusakan di beberapa kawasan gunung di Indonesia. Di antaranya perubahan kualitas air tanah, penurunan debit air, dan semburan lumpur panas beracun di Sorik Marapi, Sumatera Utara yang telah banyak menewaskan warga.
Kasus serupa juga yang terjadi di Mataloko, Flores dan Dieng, Wonosobo. Selain itu, ada juga kasus perubahan warna air sumur dan bau belerang di Lahendong. Kemudian, di Sulawesi Utara ada kasus longsor yang menewaskan enam orang dan menghilangkan 32 rumah di dekat PLTP Wayang Windu, Jawa Barat.
Warga Alami Intimidasi
Pengampanye Renewable Energy Trend Asia, Beyrra Triasdian mengungkapkan bahwa di berbagai wilayah di Indonesia, masyarakat yang menolak proyek geotermal mengalami intimidasi. Padahal, masyarakat merasa terancam dengan keberadaan proyek tersebut.
“Kami menolak segala bentuk perampasan hak hidup masyarakat atas nama proyek energi terbarukan. Kami menolak segala bentuk solusi palsu transisi energi yang pada akhirnya hanya merenggut kehidupan masyarakat,” ujar Beyrra.
Menurut Beyrra, pemerintah harus benar-benar serius mencari sumber energi alternatif yang tidak merusak ekonomi rakyat dan tidak membahayakan keselamatan warga. Energi alternatif tersebut juga harus memastikan ekosistem tetap terjaga di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































