Cuaca dan Iklim Bukan Faktor Pengontrol Penyebaran Pandemi Covid-19

Reading time: 2 menit
Suhu Udara
Foto: shutterstock.com

Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa iklim dan cuaca bukan satu-satunya faktor yang dapat mengontrol persebaran virus korona. Mobilitas penduduk, interaksi sosial, dan intervensi kesehatan disebut menjadi faktor penting dalam transmisi virus.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan iklim, cuaca, dan kelembapan akan berperan maksimal dalam memperlambat virus korona apabila didukung oleh pengendalian fisik atau mobilitas sosial, termasuk intervensi terhadap kesehatan masyarakat. Menurutnya, jika hal tersebut benar-benar diterapkan, faktor lingkungan akan berperan lebih optimal dalam mengurangi penyebaran wabah.

“Jadi, suhu dan kelembapan tidak menjamin. Bisa saja di musim kemarau penyebaran wabah ini masih ada karena syarat social atau physical distancing tidak dilakukan,” ujar Dwikorta pada diskusi daring “Benarkah Iklim Berpengaruh Pada Penyebaran Covid-19”, Selasa, 07 April, 2020.

Baca juga: Kemenristek Bentuk Konsorsium Riset Teknologi Penanganan Covid-19

Ia menyampaikan, virus yang terekspos di lingkungan dengan suhu dan kelembapan rendah cenderung lebih stabil dibandingkan pada suhu yang tinggi. Suhu rendah yang dimaksud berkisar antar satu sampai 10 derajat celcius. Sementara kelembapan rendah yakni antara 40 hingga 50 persen.

Menurut Dwikorita, posisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata antara 27 sampai 30 derajat celcius dan kelembapan udara 70 hingga 95 persen, cenderung tidak ideal untuk wabah Covid-19. Namun, kasus Covid-19 telah menyebar di Indonesia pada gelombang kedua. Ia mengatakan, bahwa faktor mobilitas orang lebih berpengaruh dalam penyebaran dan peningkatan Covid-19 di Indonesia.

Dwikorita Karnawati

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. Foto: BMKG

Sementara di China, tanpa intervensi kesehatan publik yang ekstensif, perubahan kondisi cuaca seperti kenaikan temperatur dan kelembapan disebut relatif tidak menurunkan kasus Covid-19. Hal tersebut berdasarkan data pencatatan selama rentang waktu 23 Januari hingga 10 Februari 2020.

Sejumlah penelitian juga menyebut, dari hasil statistik dan pemodelan matematis, mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung perkembangan wabah di negara berlintang tinggi. Namun, faktor lingkungan itu bukan penentu jumlah kasus terutama setelah outbreak gelombang kedua.

Dwikorita menyebut, peningkatan kasus pada gelombang kedua di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh pergerakan manusia dan interaksi sosial. “Mobilitas manusia sudah sangat tinggi,” ujarnya.

Baca juga: KKP Estimasi Panen Budidaya Perikanan Capai 450 Ribu Ton

Tim BMKG dan FKKMK UGM juga merekomendasikan masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh. Caranya dengan beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau atau Agustus nanti. “Tentunya dengan lebih ketat menerapkan physical distancing dan pembatasan mobilitas orang, tinggal di rumah, disertai intervensi kesehatan masyarakat,” ucap Dwikorita.

Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Berry Juliandi, juga mengatakan, untuk meningkatkan imunitas tubuh dapat dilakukan salah satunya dengan berjemur. Menurut Berry, ketika mendapatkan sinar matahari, tubuh mampu memproduksi vitamin D yang sangat berperan terhadap daya tahan tubuh. “Kita mendapatkan pro vitamin D dari makanan. Dengan bantuan sinar matahari lewat kulit, maka pro vitamin D yang sudah didapatkan akan diubah menjadi vitamin D,” ujar Berry.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top