Risiko Besar bagi Kehidupan Masyarakat Adat di Balik Pelepasan Hutan Merauke

Reading time: 2 menit
Ilustrasi hutan Merauke. Foto: Freepik
Ilustrasi hutan Merauke. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah saat ini sedang merencanakan pelepasan hutan seluas 486.939 hektare hutan di Merauke, Provinsi Papua Selatan untuk mendukung percepatan pembangungan kawasan swasembada pangan, energi, dan air nasional. Namun, rencana ini menuai kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) karena tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat adat di Papua Selatan.

Menurut Walhi, rencana pembukaan lahan ini telah kian parah setelah ada pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid. Ia menyatakan bahwa wilayah hutan yang akan dilepaskan adalah milik negara dan menganggap tidak ada yang bermukim di sana.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian mengungkapkan bahwa pernyataaan Menteri ATR/BPN terkait tidak ada yang bermukim di wilayah tersebut adalah sebuah kesalahan besar. Padahal, ada 24 kampung yang merupakan wilayah adat milik masyarakat adat di sana.

BACA JUGA: Puluhan Masyarakat Adat Merauke Tolak PSN Cetak Sawah

“Ini sekaligus menunjukkan sikap tidak hormatnya menteri ATR/BPN pada masyarakat adat Papua,” ujar Uli dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/10).

Selain itu, pembukaan lahan ini juga akan melepaskan emisi yang begitu besar. Berdasarkan analisis yang Walhi lakukan, 265.208 hektare merupakan hutan alam. Apabila hutan tersebut jadi konsesi kebun tebu (untuk etanol), cetak sawah baru, dan untuk perkebunan sawit (B-50), maka akan melepaskan emisi kurang lebih 140 juta hingga 299 juta ton CO2.

“Jika 2 juta hektare hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang lepas akan jauh lebih besar. Ini berkontradiksi dengan komitmen iklim Indonesia. Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri jika rencana ini tetap berjalan,” tambah Uli.

Perparah Konflik Agraria Papua Selatan

Permasalahan dari perencanaan pembukaan lahan yang begitu besar di Papua ini juga bukan sekadar besarnya pelepasan emisi. Walhi menilai bahwa rencana tersebut akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan. Sebab, proyek PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak berdasar pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki mengungkapkan bahwa masyarakat adat yang kampungnya jadi lokasi proyek PSN itu menolak kehadiran PSN. Mereka takut akan terusir dari wilayah adatnya.

“Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat. Padahal, mereka menggantungkan hidup pada sagu, hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” kata Maikel.

Selain merusak sumber pangan, pelepasan hutan ini juga akan merusak ekosistem hutan Merauke. Terlebih lagi hutan di sana sebagai habitat satwa endemik, seperti kasuari, kanguru pohon, dan cenderawasih.

BACA JUGA: Penolakan PSN Bergema di Merauke, Masyarakat Minta Hentikan

Kendati demikian, menurut Maikel, penghancuran hutan ini sama artinya dengan penghancuran identitas masyarakat adat Papua. Baginya, ini sebuah kekerasan terbuka oleh negara.

“Selain itu, semua hal diputuskan melalui meja hijau di jakarta. UU Otonomi Khusus Papua yang diterbitkan oleh presiden RI bisa dimentahkan oleh SK Menteri,” tambah Maikel.

Walhi Papua juga mengingatkan bahwa Papua saat ini sedang menghadapi ancaman deforestasi serius. Tiga puluh tahun terakhir, Papua telah kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hektare.

Data lain juga menunjukkan bahwa pada 2022-2023 deforestasi di hutan alam Papua luasnya mencapai 552 ribu hektare. Bahkan, Papua menjadi daerah yang menyumbang 70% dari total deforestasi nasional.

Maka dari itu, Walhi Papua menegaskan bahwa dengan menyelamatkan Papua artinya menyelamatkan Indonesia. Menurut mereka, menolak PSN Papua untuk pangan dan energi adalah sebuah keharusan pengurus negara.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top