Sambangi MK, Warga Uji Legitimasi Konstitusional Proyek Strategis Nasional

Reading time: 3 menit
Warga uji legitimasi konstitusional proyek strategis nasional. Foto: Geram PSN
Warga uji legitimasi konstitusional proyek strategis nasional. Foto: Geram PSN

Jakarta (Greeners) – Sidang ke-III Judicial Review UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/8), memasuki agenda mendengar keterangan DPR dan Presiden. Namun, ketidakhadiran DPR dan ketidaksiapan pemerintah menunjukkan minimnya keseriusan mempertanggungjawabkan produk hukum tersebut.

Sebelumnya, permohonan judicial review ini diajukan pada 4 Juli 2025. Permohonan diajukan oleh delapan organisasi masyarakat sipil, satu individu, dan 12 korban proyek strategis nasional (PSN). Para pemohon termasuk masyarakat adat, petani, nelayan, dan akademisi. Mereka secara khusus menggugat norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang memberi legitimasi pada “kemudahan dan percepatan PSN”.

Ketentuan tersebut tersebar di berbagai sektor hukum. Di antaranya dalam UU Kehutanan, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Penataan Ruang, serta UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Secara substansi, norma-norma ini dinilai menimbulkan kerancuan hukum dan membuka celah pembajakan regulasi. Frasa “kemudahan dan percepatan PSN” bersifat abstrak dan multitafsir. Sehingga memberi kewenangan berlebihan kepada pemerintah untuk meloloskan proyek besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Hal tersebut juga secara jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum. Supremasi konstitusi ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

BACA JUGA: Kekerasan di Rempang Kembali Terjadi, Negara Gagal Lindungi Warga

Kuasa Hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sekaligus pendamping warga, Edy Kurniawan mengatakan bahwa ketentuan mengenai kemudahan PSN juga berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum”, yang seharusnya dimaknai secara ketat.

“Dalam praktiknya, konsep ini memberi dasar hukum bagi badan usaha untuk mengambil alih tanah warga, termasuk tanah adat, tanpa adanya perlindungan hukum yang cukup bagi masyarakat terdampak,” ujar Edy dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/8).

Dampaknya adalah terjadinya penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup warga. Hal ini bertentangan dengan jaminan hak atas kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Norma tersebut juga membuka jalan bagi alih fungsi lahan pangan berkelanjutan untuk kepentingan PSN, tanpa adanya mekanisme partisipasi yang bermakna maupun kompensasi yang adil bagi masyarakat.

Warga uji legitimasi konstitusional proyek strategis nasional. Foto:  Geram PSN

Warga uji legitimasi konstitusional proyek strategis nasional. Foto: Geram PSN

Pemerintah Tidak Siap Berikan Keterangan

Dalam persidangan ke-III pada 19 Agustus 2025, Hakim Konstitusi Suhartoyo membuka jalannya sidang. Agenda sidang ini yaitu mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah. Namun, fakta di persidangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap memberikan keterangan substansi.

Perwakilan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Hukum dan HAM hanya hadir untuk menyampaikan permohonan penundaan dengan alasan belum rampung menyusun jawaban. Lebih jauh lagi, DPR bahkan sama sekali tidak hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (Geram PSN), kondisi ini menimbulkan kesan bahwa baik pemerintah maupun DPR abai terhadap kewajiban konstitusionalnya untuk mempertanggungjawabkan produk hukum yang mereka hasilkan.

BACA JUGA: Puluhan Masyarakat Adat Merauke Tolak PSN Cetak Sawah

Edy menyatakan kekecewaan mendalam. Sebab, warga terdampak yang telah jauh-jauh datang ke Jakarta, justru tidak mendapatkan kesempatan menyuarakan pendapatnya di hadapan Majelis Hakim.

“Akhirnya, persidangan ditunda hingga 25 Agustus 2025 tanpa kejelasan mengenai sikap serius dari lembaga negara,” ujar Edy dalam keterangan tertulisnya.

Perlihatkan Masalah Proyek Strategis Nasional

Di samping itu, sidang ini juga berlangsung hanya beberapa hari setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan Pidato Kenegaraan pada 15 Agustus 2025. Dalam pidatonya, presiden justru menegaskan rencana ekspansi pembukaan jutaan hektare lahan pangan. Hal ini termasuk di Papua, sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Menurut Geram PSN, pernyataan ini kian mempertegas arah kebijakan pemerintah yang tidak melakukan evaluasi kritis terhadap kegagalan program Food Estate sebelumnya. Bahkan, mengabaikan fakta kerusakan lingkungan, pelanggaran hak masyarakat adat, serta terancamnya kedaulatan pangan lokal.

Kemudian, pada sidang 19 Agustus juga memperlihatkan dimensi konkret dari permasalahan PSN. Sebab, sejumlah korban langsung hadir di ruang sidang untuk mempertegas dampak yang mereka alami.

Mereka antara lain masyarakat adat Merauke yang terdampak proyek Food Estate. Warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau, juga hadir karena terancam penggusuran akibat proyek Rempang Eco City. Masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdampak proyek tambang nikel turut hadir.

Warga Kalimantan Timur yang terdampak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dan masyarakat Kalimantan Utara yang terimbas Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), juga turut menyuarakan aspirasinya.

Kesaksian mereka menunjukkan bahwa dampak PSN bukanlah abstraksi hukum. Namun, kenyataan hidup berupa hilangnya tanah adat dan lahan pertanian, kerusakan ekologis yang mengancam ruang hidup, serta praktik kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek.

Dalam konteks ini, GERAM PSN menegaskan bahwa judicial review ini bukan sekadar uji terhadap pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Bagi mereka, hal tersebut sebagai pengujian atas arah pembangunan nasional ke depan.

Menurut mereka, Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi dan keadilan ekologis. Keputusan MK dalam perkara ini akan menentukan apakah pembangunan nasional akan benar-benar berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan hidup. Atau justru tunduk pada logika investasi yang mengorbankan hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan masa depan ekologis bangsa.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top