Konflik Sumber Daya Alam Paling Tinggi Diadukan ke Komnas HAM

Reading time: 2 menit
konflik
Ilustrasi: Ist.

Pekanbaru (Greeners) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) per 2015 telah menerima pengaduan sebanyak 8.249 berkas. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah pengaduan atas hak memeroleh keadilan (3.252 berkas) dan hak atas kesejahteraan (3.407 berkas), yang substansi pengaduannya terkait permasalahan sengketa lahan dan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta sengketa ketenagakerjaan.

Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menyatakan bahwa permasalahan konflik pertanahan masih menjadi hal yang banyak diadukan kepada Komnas HAM. “Sedikitnya ada 252 konflik agraria yang terjadi sepanjang 2015 yang diadukan,” kata Rochiatul dalam acara Workshop Bisnis dan HAM di Pekanbaru, Riau, Rabu (16/11).

BACA JUGA: Walhi Tagih Janji Presiden untuk Membentuk Badan Penyelesaian Konflik Agraria

Menurutnya, Tim Penanganan Konflik Sumber Daya Alam telah membahas tiga isu sektor terkait konflik agraria yaitu sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Dari pengaduan terkait konflik lahan yang masuk ke Komnas HAM, diperoleh 109 berkas terkait permasalahan dan/atau konflik lahan yang berhubungan dengan sumber daya alam. “Tertinggi di Sumatera Utara, disusul Kaltim, Kalbar, lalu Riau, selebihnya di Jawa Barat dan daerah lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Isu sumber daya alam merupakan isu yang menonjol terkait pelanggaran HAM berada di sektor perkebunan, pertambangan, serta agrarian. Karena itu, untuk meminimalisir pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi, Komnas HAM bersama organisasi masyarakat sipil saat ini tengah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk topik Bisnis dan HAM.

Siti Noor mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang secara resmi menyatakan menerima Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM pada Juni 2011 di Komisi Dewan HAM PBB yang berisi tiga pilar. Ketiga pilar tersebut yakni kewajiban negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, dan kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

Isu Bisnis dan HAM, lanjutnya, memang relatif masih baru dan kita sedang mendorong agar perusahaan dalam melakukan operasinya menginternalisasikan nilai-nilai HAM sehingga tidak melanggar agar masyarakat tidak dirugikan. “Negara juga akan diuntungkan dari praktik korporasi yang sehat dan baik,” ujarnya.

BACA JUGA: Komisioner Inkuiri Komnas HAM Temukan Banyak Pelanggaran Terhadap Masyarakat Adat

Saat ini, kata Siti Noor, Komnas HAM sudah menyosialisasikan panduan Bisnis dan HAM ini ke BUMN maupun perusahaan swasta. Tahapan berikutnya, adanya perusahaan yang menjadi contoh untuk menerapkan prinsip-prinsip ini yang dengan sukarela mengaudit perusahaannya sendiri melalui audit HAM. “Sampai sekarang belum ada, tapi dalam beberapa hal sudah dilakukan meski belum sepenuhnya mengikuti panduan yang ada,” katanya.

Di forum yang sama, Iman Prihandono, Ketua Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga menyebutkan, ada beberapa regulasi di Indonesia yang bisa mencegah perusahaan melanggar HAM meski tidak sepenuhnya mengadopsi panduan prinsip-prinsip bisnis dan HAM.

Di antaranya yaitu Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Sertifikat Clean and Clear, dan Sertifikasi HAM Perikanan. Iman berharap, Indonesia segera membuat Rencana Aksi Nasional untuk topik Bisnis dan HAM untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM di sektor bisnis. “Tanggung jawab HAM perusahaan yakni menghindari melaggar HAM orang lain dan menangani dampak hak asasi manusia yang merugikan,” kata Iman.

Penulis: HI/G17

Top