Utamakan Pelibatan Masyarakat untuk Capai Target Energi Terbarukan 2035

Reading time: 3 menit
Masyarakat harus terlibat untuk mencapai target energi terbarukan 2035. Foto: Dini Jembar Wardani
Masyarakat harus terlibat untuk mencapai target energi terbarukan 2035. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa Indonesia bisa mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2035, lima tahun lebih cepat dari target awal, tahun 2040. Organisasi masyarakat sipil mewanti-wanti agar ambisi ini tidak hanya sekadar mengganti sumber energi saja. Prinsip berbasis partisipasi aktif masyarakat, lokal, terdampak, dan rentan harus menjadi bagian transformasi energi.

Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian mengatakan bahwa penting untuk memastikan ambisi 100 persen energi terbarukan tidak menciptakan ekstraktivisme hijau. Sebab, daya rusaknya sama seperti ekstraktivisme energi fosil, yaitu menyebabkan jutaan orang tereksploitasi. Selain itu, dapat merusak lingkungan maupun keanekaragaman hayati.

BACA JUGA: Energi Terbarukan, Kunci Indonesia Mencapai Target Net-Zero Emission

“Pengelolaan sumber daya energi, termasuk cara energi diproduksi, diolah, dan didistribusikan harus diubah secara menyeluruh dengan meninggalkan model eksploitatif dan terpusat menuju model energi yang regeneratif, demokratis, dan berlandaskan pada keadilan,” kata Beyrra dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/8).

Organisasi masyarakat sipil Trend Asia bersama Recourse mempublikasikan laporan terbaru bertajuk “Mengandalkan Energi Terbarukan”. Laporan tersebut menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal, marjinal dan rentan, perempuan, serta kaum muda sebagai pengambil keputusan dalam proyek energi terbarukan.

Keterlibatan itu begitu penting untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, juga meningkatkan manfaat sosial maupun ekonomi bagi komunitas lokal.

Keadilan Harus Tercermin dalam NDC

Menurut Beyrra, prinsip transisi yang adil tersebut juga seharusnya tercermin secara nyata dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Kedua. Saat ini, dokumen tersebut tengah pemerintah susun untuk COP30 di Brasil, November mendatang.

Ia menekankan bahwa pendanaan publik yang dibahas dalam forum iklim global tersebut harus diarahkan untuk membangun sistem energi yang demokratis dan berpusat pada manusia. Selain itu, pendanaan tersebut juga harus memastikan perlindungan terhadap lingkungan.

“Pelibatan masyarakat tidak cukup hanya menjadi jargon dalam dokumen internasional. Komitmen ini harus terwujud secara nyata di lapangan. Pastikan masyarakat terlibat sebagai aktor utama yang memiliki kapasitas dan hak untuk terlibat di setiap tahap proses,” ujarnya.

Baginya, isu ini mendesak untuk diangkat di forum iklim global, termasuk COP30. Tujuannya agar transisi energi benar-benar adil dan berpihak pada komunitas terdampak.

Bebaskan Proyek Energi Palsu

Selaras dengan prinsip keadilan, peta jalan penurunan emisi harus bebas dari proyek-proyek energi yang memiliki daya rusak setara dengan energi fosil. Ini termasuk teknologi seperti Carbon Capture and Storage (CCUS), co-firing biomassa di PLTU yang mendorong deforestasi, serta mekanisme pasar karbon.

Sebab, Indonesia perlu menekan 459 juta ton CO2e dari sektor energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan kelautan. Sektor energi menyumbang porsi terbesar, yaitu 55 persen dari total emisi nasional.

“Memperpanjang umur energi fosil meningkatkan risiko finansial. Bahkan, menambah utang negara, dan mengunci komunitas rentan dalam lingkar kemiskinan dan paparan polusi yang berkepanjangan. Padahal, biaya pengembangan energi terbarukan saat ini sudah lebih kompetitif dibanding energi fosil,” tegas Beyrra.

Kebutuhan Transisi Energi Terbarukan Capai USD4 Triliun

Dalam pertemuan iklim COP30 mendatang, peningkatan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 dan penghentian bertahap penggunaan energi fosil menjadi strategi prioritas global. Menurut Beyrra, hal itu agar sistem pendanaan transisi energi nasional mengalami transformasi mendasar. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai target dekarbonisasi dan komitmen 100 persen energi terbarukan pada 2035.

Secara global, kebutuhan untuk transisi energi butuh dana sekitar USD4 triliun. Akan tetapi, negara berpenghasilan rendah dan menengah, kecuali Tiongkok, hanya menyumbang sekitar 15 persen dari total belanja energi bersih global.

“Ini menunjukkan adanya ketimpangan besar dalam distribusi pendanaan, yang berpotensi menghambat transisi energi yang adil secara global,” tambah Beyrra.

Presiden COP 30 André Aranha Corrêa do Lago juga menyerukan transformasi menyeluruh dalam arus pendanaan iklim dalam surat terbukanya. Seuan itu ia serukan kepada negara-negara ekonomi besar, lembaga keuangan, dan Bank Pembangunan Multilateral (MDBs).

BACA JUGA: Energi Terbarukan Indonesia Masih Jauh dari Target

Ia mendorong pengembangan mekanisme pengaliran dana yang lebih cepat dan efisien. Hal ini penting untuk menyalurkan dana sebesar USD 1,3 triliun ke negara-negara paling rentan atas dampak krisis iklim.

Seruan ini juga sejalan dengan agenda utama COP30. Terutama, untuk menyelaraskan pendanaan global dengan target Perjanjian Paris dan melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada 2030.

Beyrra menegaskan bahwa negara-negara berkembang harus memiliki posisi sebagai pengambil keputusan yang setara dalam forum iklim global.

“Untuk menunjukkan upaya serius dalam dekarbonisasi dan mencapai 100 persen energi terbarukan menuju COP30, pemerintah Indonesia juga perlu merevisi kebijakan-kebijakan dan peta jalan yang melanggengkan penggunaan energi fosil,” tutup Beyrra.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top