Jakarta (Greeners) – Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) mengklaim bahwa 85 persen penambang yang melakukan aktifitas pertambangan emas placer (wilayah sungai) tidak lagi menggunakan merkuri. Sekjen APRI Syafei Kadarusman kepada Greeners mengatakan bahwa pihaknya telah lama memberikan alternatif pertambangan tanpa merkuri dan praktik pertambangan ramah lingkungan seperti penggunaan ijuk di Minahasa.
Namun menurut Syafei, hingga saat ini APRI masih belum mendapat respon baik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (Ditjen PSLB3). Menurutnya, para penambang rakyat sebenarnya sudah lama bekerja tanpa menggunakan merkuri.
Para penambang yang kedapatan menggunakan merkuri, menurutnya, kebanyakan merupakan penambang yang memang sudah terlanjur memakai merkuri. Itu pun diakuinya, langsung ada pembersihan agar limbah merkuri tersebut tidak mencemari lingkungan.
“Kita sudah coba tawarkan dengan beberapa teknologi tetapi tidak digubris. Sebenarnya tambang rakyat sudah lama bekerja tanpa merkuri, cuma yang sudah terlanjur memakai merkuri kita ambil lagi merkurinya, kita bersihkan,” jelasnya, Jakarta, Kamis (09/03).
BACA JUGA: Pemerintah Uji Coba Penggunaan Sianida pada Penambangan Rakyat
Pengajuan tawaran program tersebut dikatakan Syafei bukan tanpa alasan. Pengajuan kerjasama dengan kementerian dilakukan agar para penambang bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk mendapatkan izin secara legal karena hingga saat ini status penambang rakyat masih informal yang artinya ilegal.
Menurut Syafei, sistem penambangan emas tanpa merkuri, khususnya di wilayah placer, sudah tidak dipakai. Sudah sejak lama para penambang di wilayah placer menggunakan sistem gravitasi yang tidak membutuhkan merkuri. Sistem gravitasi ini bekerja secara sederhana dan sudah diterapkan secara turun-temurun oleh masyarakat.
“Bentuk hasil tambangnya pertama kali itu kan batuan. Batuan itu dihaluskan dalam bentuk tepung, kemudian dialirkan secara miring, lalu alasnya dikasih karpet atau handuk atau kain, kemudian diluncurkan batuan yang sudah halus tadi di atas alas itu. Karena sifat emas itu berat, dia melekat di alas itu. Emas yang melekat itu dibersihkan di dalam air kemudian dibakar dalam tempat pembakaran kecil, lalu dikasih boraks dan selesai sudah. Tidak perlu pakai merkuri,” jelasnya.
Hanya saja, di wilayah hard rock (gunung) penambang masih banyak yang menggunakan merkuri sebagai pelekat karena bentuk emasnya yang menyerupai debu. Merkuri dipilih sebagai bahan utama karena harganya yang cukup murah dan terjangkau oleh para penambang.
BACA JUGA: KLHK Atur Konsep Penanggulangan Tambang Rakyat Tanpa Izin
Di sisi lain, pemerintah berencana menerapkan penggunaan sianida sebagai pengganti merkuri dalam ujicoba penerapan pengolahan emas tanpa merkuri bagi masyarakat di wilayah penambangan rakyat (WPR). Menurut Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Beracun Berbahaya (B3), Purwasto Soro Prayogo, saat ini pemerintah tengah melakukan pematangan uji coba pengolahan emas tanpa merkuri tersebut.
Sianidasi Emas atau yang juga dikenal sebagai proses sianida atau proses MacArthur-Forrest ini adalah teknik metalurgi untuk mengekstraksi emas dari bijih kadar rendah dengan mengubah emas ke kompleks koordinasi yang larut dalam air. Ini adalah proses yang paling umum digunakan untuk ekstraksi emas.
“Proses yang sedang berjalan adalah pematangan uji cobanya dengan mematangkan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam operasionalisasi alat yang bisa berupa koperasi bagi para penambang. Lalu pemerintah juga tengah membangun dan memastikan mekanisme kerja baik dari bagaimana masyarakat memperoleh bahan, sistem bagi hasi operasional alat maupun mekanisme pasar ini bisa berjalan baik dengan membangun mekanisme pemantauan dan pelaporan dari daerah dan ke pusat,” kata Purwasto.
Penulis: Danny Kosasih