Kala Fotografer Membawa Cerita Krisis Iklim di Tepian Pesisir Lewat Potretannya

Reading time: 3 menit
Muhammad Fauzan (31) menghadirkan potret krisis iklim yang melanda di tepian pesisir Jakarta lewat lensanya. Foto: Dini Jembar Wardani
Muhammad Fauzan (31) menghadirkan potret krisis iklim yang melanda di tepian pesisir Jakarta lewat lensanya. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Muhammad Fauzan (31), seorang fotografer yang aktif memotret realitas sosial dan lingkungan, menghadirkan potret krisis iklim yang melanda di tepian pesisir Jakarta lewat lensanya. Lewat karyanya, ia membangun refleksi dalam pameran fotografi β€œLiving at The Urban Seafront”.

Pameran ini diselenggarakan oleh Goethe Institut Indonesien bekerja sama dengan Bremen Centre for Building Culture, berlangsung mulai 6 Mei hingga 1 Juni 2025 di Goethe-Institut Jakarta. Menampilkan 47 karya dari 17 fotografer Indonesia dan Jerman, pameran ini menyusuri pengalaman dan kondisi masyarakat yang tinggal di tepian kota dan laut, dari Jakarta, Bekasi, Gresik, Makassar, hingga Bremen (Jerman).

BACA JUGA: Jamaica Cafe, Acapella Peduli Lingkungan

Salah satu karya Fauzan yang dipajang dalam pameran ini diambil di Kalibaru, sisi barat Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, pada tahun 2021. Ia memilih tempat ini dengan harapan menyampaikan pesan yang dalam tentang masalah lingkungan. Salah satunya memperlihatnya adanya kenaikan permukaan air laut, yang mengancam Jakarta dalam dekade-dekade yang akan datang.

Potret itu, yang menggambarkan batas antara laut dan daratan yang semakin naik, bukan sekadar gambaran visual. Namun, sebuah panggilan untuk merenung. Melihat potensi tenggelamnya Jakarta pada 2045, Fauzan mengajak audiens untuk menatap lebih dalam, mengerti, dan merasa lebih dekat dengan kota ini yang sedang terancam krisis iklim.

“Dalam foto tersebut, ada dua anak yang duduk santai tanpa melakukan aktivitas. Ini menggambarkan generasi masa depan yang akan merasakan dampak dari perubahan ini jika tidak ada tindakan,” kata Fauzan kepada Greeners, Selasa (6/5).

Muhammad Fauzan (31) menghadirkan potret krisis iklim yang melanda di tepian pesisir Jakarta lewat lensanya. Foto: Dini Jembar Wardani

Muhammad Fauzan (31) menghadirkan potret krisis iklim yang melanda di tepian pesisir Jakarta lewat lensanya. Foto: Dini Jembar Wardani

Amati Daerah Sunyi

Bagi Fauzan, tujuan utama dia datang ke tempat tersebut bukan hanya untuk memotret, tetapi juga untuk mengamati daerah-daerah yang jarang dikunjungi orang.

“Saya merasa bahwa tempat-tempat ini menawarkan pandangan yang berbeda tentang Jakarta, jauh dari keramaian dan kesibukan kota,” ujarnya.

Sebagai seorang fotografer dokumenter, Fauzan lebih sering mengamati terlebih dahulu sebelum memotret, untuk menangkap momen yang lebih autentik dan menggugah. Ia juga sering memotret di daerah pesisir, termasuk di Kalibaru. Dirinya merasa senang bisa mengamati perubahan yang terjadi di daerah tersebut, terutama dalam hal masalah lingkungan yang kian masyarakat rasakan.

BACA JUGA: Science Film Festival 2024 Angkat Pesan Ekonomi Sirkular kepada Pelajar

“Meskipun perhatian dari pemerintah masih minim, banyak warga di daerah pesisir yang sudah mulai peduli terhadap ancaman perubahan iklim,” katanya. Sambil memotret dengan lensanya, ia juga banyak mendengar cerita dari masyarakat pesisir yang semakin terdampak krisis iklim ini.

“Beberapa cerita yang sering saya dengar dari masyarakat pesisir adalah keluhan tentang cuaca yang tidak menentu dan masalah logistik. Contohnya, kekurangan bahan bakar untuk melaut, yang menjadi tantangan besar bagi mereka,” imbuhnya.

Ragam Dampak Krisis Iklim

Namun, bukan hanya karya Fauzan yang memikat perhatian. Pameran ini juga menampilkan karya-karya lain yang tak kalah menggugah, dari 15 fotografer Indonesia dan dua fotografer Jerman. Karya-karya ini dipilih melalui seleksi ketat dari 31 entri, yang kemudian dinilai oleh enam juri dari Indonesia dan Jerman.

Kepala Program Budaya Goethe Institut Indonesien, Ingo Schoningh mengatakan bahwa perubahan iklim adalah fenomenal global yang masyarakat hadapi dengan strategis mitigasi. Salah satu strategi dalam kaitan dengan kenaikan permukaan air laut adalah ketahanan kawasan pesisir.

“Dialog di antara kota-kita pesisir yang begitu berbeda seperti Bremen dan Jakarta mengungkapkan keberagaman tanggapan. Sebagai lembaga kebudayaan, kami mengusung misi untuk meningkatkan kesadaran. Sebab, melalui pemecahan masalah bersamalah pemahaman, keterhubungan, dan harapan bisa tumbuh,” ujarnya.

Ajakan Refleksi

Saat ini lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun, kehidupan pesisir malah makin tidak pasti. Kenaikan muka air laut, penurunan tanah, abrasi, dan banjir tidak datang sebagai bencana tiba-tiba, melainkan berlangsung perlahan, melalui keseharian, perubahan senyap, dan kelalaian struktural.

Menurut juri sekaligus urbanis asal Jakarta, Elisa Suatnudjadja, foto-foto dalam pameran ini juga sekaligus menelusuri bagaimana orang terus beradaptasi, bertahan, dan memberi makna pada batas yang terus berubah antara daratan dan laut.

“Beberapa foto menampilkan upaya mempertahankan daratan dari air melalui tanggul, tembok, dan pompa. Lainnya menunjukkan apa yang terjadi ketika infrastruktur gagal atau tak pernah hadir,” kata Elisa.

Baginya ini tidak hanya terkait konsekuensi dari krisis iklim yang mengerikan. Ini juga merupakan sebuah ajakan refleksi. Melihat bagaimana banjir rob dan garis pantai yang semakin terkikis, tentang kegigihan, kenangan, dan kehidupan sehari-hari di atas tanah yang lenyap.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top