Jakarta (Greeners) – Lonjakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau semakin meluas. Dalam waktu sepekan terakhir, Kepolisian Daerah Riau berhasil menangkap 29 orang tersangka yang diduga kuat terlibat dalam pembakaran lahan, dengan luas area terdampak mencapai 213 hektare.
Angka tersebut merupakan bagian dari total 35 laporan kasus karhutla sejak Januari hingga Juli 2025. Total tersangka mencapai 44 orang dan luas lahan yang telah terbakar mencapai 269 hektare.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak 20 Juli 2025, tercatat 790 titik panas (hotspot) terdeteksi di Riau, dengan 27 titik api aktif. Hanya dalam waktu 24 jam, luas lahan terbakar di Riau melonjak dari 546 hektare menjadi sekitar 1.000 hektare.
Sebaran titik api terkonsentrasi dan saling berdekatan, menunjukkan adanya pola pembakaran berulang dan terorganisasi. Kondisi ini mengancam kesehatan masyarakat, mengganggu kualitas udara lintas wilayah, dan berpotensi merusak reputasi Indonesia di panggung global dalam komitmen pengendalian perubahan iklim.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan bahwa kondisi ini tidak bisa dianggap sebagai kejadian biasa. “Lonjakan titik api dan luasan kebakaran yang masif hanya dalam waktu singkat, mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan lapangan, dan masih rendahnya kepatuhan terhadap larangan pembakaran lahan,” jelas Hanif dalam keterangan tertulisnya.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, aparat penegak hukum segera bergerak melakukan investigasi dan penindakan. Para tersangka tersebar di sejumlah wilayah di Provinsi Riau. Jumlah terbanyak berasal dari Kampar (7 orang), lalu Rokan Hilir dan Indragiri Hulu masing-masing 5 orang. Sementara itu, Kuantan Singingi dan Rokan Hulu mencatatkan 3 tersangka. Adapun masing-masing satu tersangka berasal dari Pelalawan, Indragiri Hilir, Dumai, dan Pekanbaru.
Barang bukti yang telah petugas amankan meliputi cangkul, parang, korek api, kayu bekas terbakar, hingga jeriken bahan bakar. Hanif menambahkan bahwa kasus-kasus ini telah banyak terjadi di lahan gambut, kawasan hutan produksi terbatas, dan bahkan di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.
Sanksi bagi Perusahaan yang Lalai dalam Pemcegahan Karhutla
Sementara itu, KLH juga telah menindalanjuti temuan ini dengan memproses sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan pemegang izin konsesi yang lalai dalam pencegahan karhutla. Seluruh perusahaan wajib membangun sekat kanal di areal gambut, menyediakan sarana pemadaman dini, serta aktif berpatroli bersama masyarakat.
“Kami telah mengadakan pertemuan langsung dengan pelaku usaha seperti RAPP, Sinar Mas Group, dan PTPN IV Regional III. Ini untuk memastikan komitmen mereka dalam pencegahan dan pemulihan lingkungan,” tambah Hanif.
BACA JUGA: Sidang Kasus Kabut Asap Tiga Korporasi di Sumsel Berlanjut
Selain itu, KLH bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga melaksanakan operasi modifikasi cuaca (OMC) di wilayah rawan karhutla. Operasi ini bertujuan untuk mempercepat pembentukan hujan buatan untuk membantu menurunkan potensi kebakaran. Khususnya, di kawasan gambut yang kering ekstrem.
Saat ini, pemerintah daerah di 12 kabupaten juga telah menetapkan status siaga karhutla. Namun, medan yang sulit, lahan gambut yang kering, dan angin kencang menyebabkan penyebaran api semakin parah.
Hanif menegaskan, bahwa pembakaran lahan dalam bentuk apa pun adalah pelanggaran hukum berat yang akan ditindak tanpa adanya kompromi. Setiap pelaku, baik individu maupun korporasi, akan dikenai sanksi pidana dan administratif.
“Kami tidak akan membiarkan bencana tahunan ini terus mengancam lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat,” tegas Hanif.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































