Jakarta (Greeners) – Pengurangan sampah sejak dari sumber menjadi langkah penting dalam menekan emisi metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dalam hal ini, pengelolaan sampah organik harus menjadi prioritas utama untuk mencegah masuk ke TPA dan tidak terus-menerus berkontribusi menghasilkan gas berbahaya tersebut.
Senior Research Lead Dietplastik Indonesia, Zakiyus Shadicky, menegaskan bahwa timbunan sampah di TPA berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi gas metana. Gas metana merupakan gas rumah kaca yang dampaknya terhadap pemanasan global jauh lebih berbahaya daripada karbon dioksida.
βSetelah lebih dari satu dekade kami melakukan intervensi pengurangan sampah plastik sekali pakai, kami tidak bisa menghiraukan bahwa sampah organik merupakan salah satu sampah yang ada di TPA,” ujarnya di Jakarta, Jumat (16/5).
Ia menambahkan, salah satu kunci pengelolaan sampah organik yang efektif adalah pemilahan sejak dari sumber, baik melalui sistem skala rumah tangga maupun jasa pengelolaan sampah terpercaya. Dengan pemilahan, sampah organik yang dihasilkan berkualitas dan dapat diolah kembali dengan optimal.
BACA JUGA: Pemda Perlu Gandeng Pengusaha untuk Kelola Sampah Organik
Selain itu, pendataan mengenai timbulan sampah dan potensi pengurangannya menuju TPA juga menjadi faktor penting. Data ini tidak hanya membantu dalam perencanaan pengelolaan sampah yang lebih efisien. Namun, juga menjadi acuan dalam menghitung potensi pengurangan emisi metana secara transparan dan akurat.
Sebagai bagian dari upaya ini, Dietplastik Indonesia melalui Proyek MERIT (Methane Emission Reduction Initiative for Transparency), telah mengukur emisi metana di tiga provinsi. Pengukuran tersebut mencakup pemetaan emisi metana dan komposisi sampah yang ada di TPA. Hal ini guna memperkuat basis data pengelolaan sampah dan emisi di Indonesia.
Tantangan Pengolah Sampah Organik
Besarnya timbulan sampah organik di TPA juga masih tercermin di wilayah Jakarta. Berdasarkan data Sistem Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024, hampir 50% komposisi sampah di Jakarta merupakan sampah organik atau sisa makanan. Sisanya sampah plastik dan jenis sampah lainnya. Sayangnya, sebagian besar sampah ini berakhir di TPA dan berpotensi menghasilkan emisi metana yang membahayakan lingkungan.
Padahal, dengan jumlahnya yang melimpah, sampah organik sebenarnya berpotensi besar untuk diolah kembali. Salah satunya melalui budidaya maggot. CEO Magalarva, Rendhia Labde, sebagai pelaku usaha pengolahan sampah organik dengan maggot, mengungkapkan bahwa masih ada tantangan besar dalam mendapatkan sampah organik.
βTidak segampang itu mendapatkan akses untuk mendapatkan sampah organik yang sebenarnya melimpah.Β Terutama mendapatkan sampah yang kualitasnya baik untuk kami olah. Di situlah kami di Magalarva terus berinovasi untuk mengembangkan bisnis sekaligus menyelesaikan masalah sampah,” jelas Rendhia.
BACA JUGA: Maggot, Lihat Lebih Dekat agar Tahu Khasiatnya
Untuk menciptakan perubahan yang lebih sistemik, keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting. Salah satu contoh inisiatif lokal datang dari Koperasi Kompos RW 16 yang berada di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Di sana, sebagian warga telah memilah sampah dari rumah dan menyerahkannya kepada koperasi untuk pengelolaannya.
Shanty Syahril selaku koordinator koperasi tersebut, menekankan pentingnya membentuk keterampilan kolektor data dalam sistem pengelolaan sampah rumah tangga.
“Image untuk pengelolaan sampah itu tidak hanya kerja otot, tapi juga dengan otak. Saat ini, upaya yang kami lakukan bisa menjadi kebanggaan bagi warga kami sendiri,” ungkap Shanty.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia