Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam perjuangan menghadirkan keadilan iklim di Indonesia.
“Langkah ini merupakan respons positif terhadap gelombang tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk menghadapi krisis iklim secara serius dan berkeadilan,” ujar Deputi Direktur Bidang Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania lewat keterangan tertulisnya.
Berdasarkan penelitian terbaru, pada tahun 2024, secara global manusia mengeluarkan emisi karbon sebesar 37,4 miliar metrik ton CO2 dari industri semen dan bahan bakar fosil. Kemudian, emisi gas rumah kaca (GRK) yang tembus pada angka 57,1 GtCO2e, tertinggi sepanjang waktu. Prediksi untuk enam tahun ke depan menunjukkan bahwa suhu bumi akan terus melampaui target kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius.
“Oleh karena itu, masuknya RUU Pengelolaan Perubahan Iklim/Keadilan Iklim merupakan langkah awal yang positif dari pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menahan laju dampak perubahan iklim,” kata Bella.
BACA JUGA: Belum Ada Komitmen di COP 29, Rakyat Tuntut Keadilan Iklim
DPR telah memutuskan untuk memasukkan RUU terkait perubahan iklim dalam rapat Paripurna kedelapan masa sidang I 2024-2025. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) juga menyambut baik langkah parlemen untuk memasukkan RUU ini sebagai prioritas.
Selain itu, momentum ini juga sejalan dengan aksi Global Day for Climate Justice pada Senin (18/11). Dalam aksi tersebut, massa menuntut pemerintah untuk segera mewujudkan keadilan iklim.
Mereka juga mendesak agar pemerintah memprioritaskan RUU Keadilan Iklim. ARUKI dan elemen masyarakat lainnya menilai RUU ini sangat penting untuk merekonstruksi ketidakadilan yang selama ini masyarakat alami.
Kawal RUU Keadilan Iklim
ARUKI juga menegaskan bahwa masuknya RUU Keadilan Iklim dalam Prolegnas Prioritas merupakan awal dari komitmen panjang dalam pengawalan. Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, menekankan pentingnya pengawalan masyarakat dalam proses legislasi RUU Keadilan Iklim. Hal ini untuk memastikan substansi yang tercakup tidak menjauhkan keadilan iklim dan menjadikan perubahan iklim sebagai ajang bisnis.
“RUU Keadilan Iklim jangan sampai dibajak untuk kepentingan komodifikasi iklim semata. Proses legislasi harus transparan dan menjawab persoalan krisis iklim di tingkat tapak,” ujar Torry.
BACA JUGA: Celios: Perdagangan Karbon, Solusi Keliru untuk Atasi Krisis Iklim
Selanjutnya, ARUKI menekankan pentingnya memastikan partisipasi bermakna dalam proses pembahasan RUU Keadilan Iklim. Proses pembahasan perlu melibatkan pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan masyarakat terdampak. Terutama, partisipasi dari kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya.
Perubahan Iklim Akar Permasalahan Ketidakadilan
Sementara itu, penting untuk menyadari bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak ekstrem bagi alam dan kehidupan manusia, tetapi juga terkait dengan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, menyatakan Indonesia harus menjadikan RUU ini sebagai langkah nyata dalam memimpin upaya pencarian solusi krisis iklim di tingkat global.
Menurutnya, substansi RUU ini harus mampu menangani perubahan iklim dan berfungsi sebagai regulasi yang merekonstruksi keadilan bagi mereka yang menanggung beban sebagai penyebab dan terdampak oleh perubahan iklim.
“Tidak hanya mengelola perubahan iklim, tetapi juga mengembalikan keadilan yang telah dirampas,” tegasnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia