Awig-Awig Bantu Nelayan Tradisional Lombok

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: freeimages.com

Lombok (Greeners) – Penerapan awig-awig (aturan adat) di Lombok Barat dan Lombok Timur dalam pengelolaan perikanan ternyata dapat melindungi nelayan tradisional dan menjaga budaya lokal yang terkait dengan perikanan.

Grazia Borrini-Feyerabend, Global Coordinator Indigenoues People’s Community Conserved Area and Territories atau Wilayah dan Perbatasan Komunitas Terkonservasi milik Masyarakat Adat (ICCA) dalam Workshop ICCA South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building Event di lombok mengatakan, berdasarkan hasil kunjungan lapangan peserta pelatihan ICCA ke Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur, kearifan lokal masyarakat menjadi hal yang penting untuk dihargai. Selain itu, mempelajari sejarah menjadi penting bagi masyarakat adat dalam menentukan kearifan lokal, serta menghargai sejarah menjadi penting untuk menentukan masa depan masyarakat adat.

“Sebelum kita mempelajari ICCA’s, kita harus mengerti sejarah mereka. Di sana kita bisa mempelajari kearifan lokal mereka dan menghargai pengertian kolektif mereka, seperti ada peraturan dan denda adat yang bertujuan untuk konservasi wilayah mereka,” terang Grazia seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Kamis (20/08).

Penerapan awig-awig ini, sambung Grazia, didasari oleh kesadaran masyarakat terhadap praktek penangkapan ikan yang merusak dan berdampak pada kehidupan mereka. Awig-awig juga telah menjadi aturan tertulis dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut untuk menjaga laut mereka. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu, Temenggung Grip dari Suku Rimba yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi menyampaikan bahwa Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan. Suku Rimba harus menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Suku Rimba dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas.

“Jika ada yang melanggar, seperti menebang pohon yang sudah dikeramatkan, maka dia harus membayar denda dengan kain adat. Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” sambung Temenggung Grip.

Sutej Hugu, peserta ICCA dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan-peraturan tertentu untuk konservasi alam mereka. Ada peraturan tentang beberapa ikan tertentu saja yang harus dimakan oleh laki-laki atau perempuan.

“Hal ini diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Sebagai informasi, pertemuan ICCA dalam South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building dilaksanakan dari tanggal 17-22 Agustus 2015 di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

ICCA dibentuk oleh asosiasi internasional yang didedikasikan untuk mempromosikan adanya pengakuan dan dukungan untuk masyarakat adat atau asli dan komunitas lokal. Beberapa ICCA terletak di ekosistem terpencil dan minim dari pengaruh manusia. Sementara yang lainnya melingkupi kebijakan suatu daerah yang berdampak kuat pada lingkungan atau alam karena pendudukan manusia.

Penulis: Danny Kosasih

Top