Berhenti Apatis, Saatnya Praktikkan Gaya Hidup Sadar Sampah

Reading time: 5 menit
Masyarakat sudah saatnya berhenti bersikap apatis dan mempraktikkan gaya hidup sadar sampah. Foto: Dini Jembar Wardani
Masyarakat sudah saatnya berhenti bersikap apatis dan mempraktikkan gaya hidup sadar sampah. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Momentum Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2025 menjadi refleksi atas permasalahan sampah yang belum terselesaikan di Indonesia. Masyarakat sudah saatnya berhenti bersikap apatis dan mempraktikkan gaya hidup sadar sampah. Langkah ini penting untuk mengatasi masalah sampah sejak sumbernya.

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Novrizal Tahar, mengungkapkan bahwa selain masalah struktural, persoalan kultural juga menjadi tantangan besar dalam pengelolaan sampah.

Menurutnya, masyarakat harus mulai mengubah cara pandang mereka terhadap sampah agar dapat memulai pengelolaan yang lebih efektif. Salah satunya adalah dengan segera menerapkan gaya hidup sadar sampah.

BACA JUGA: Sudah Saatnya Pencinta Alam Terlibat Bebaskan Alam dari Sampah

Menteri KLH, Hanif Faisol Nurofiq, juga telah mengeluarkan surat edaran mengenai Gerakan Gaya Hidup Sadar Sampah. Surat edaran berisi beberapa imbauan kepada masyarakat. Di antaranya menghindari penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk tanpa kemasan atau dengan kemasan guna ulang, memilah sampah dari rumah, menghabiskan makanan untuk mengurangi sampah organik, serta mengolah sisa makanan menjadi kompos.

Langkah ini merupakan dorongan untuk masyarakat agar dapat menerapkan gaya hidup minim sampah dalam kehidupan sehari-hari.

Novrizal menekankan bahwa 90 persen masalah sampah dapat terselesaikan di tingkat rumah tangga. Dengan demikian, KLH juga mendorong RT dan RW untuk memiliki bank sampah agar sampah di skala rumah tangga bisa terkelola dengan benar. Hal itu dapat mengurangi jumlah sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).

“Jika kekuatan di hulu dan kekuatan kultural kita kuat, maka kita harus merevolusi perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah,” ujar Novrizal.

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Novrizal Tahar. Foto: Dini Jembar Wardani

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Novrizal Tahar. Foto: Dini Jembar Wardani

Perlu Faktor Pendukung

Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi, mengungkapkan bahwa mendorong masyarakat untuk merevolusi gaya hidup dan peduli sampah bukanlah hal yang mudah. Proses ini memerlukan berbagai faktor pendukung mengingat pandangan masyarakat yang telah terbentuk selama ratusan tahun. Sampah dipandang sebagai sesuatu yang tidak berharga dan negatif.

Dalam konteks ini, orang yang terlibat dengan sampah sering dianggap berada di lapisan sosial yang rendah dan tidak dihargai. Sebab, mereka mengais barang-barang yang dibuang oleh golongan atas atau masyarakat umum.

BACA JUGA: Aksi Desa Bebas Sampah Dorong Solusi Atasi Krisis Lingkungan

“Ada hambatan utama dalam penyelesaian masalah sampah ini karena harus membuka pandangan masyarakat yang telah tertanam begitu lama tentang sampah. Tidaklah mudah untuk mendorong masyarakat melakukan perubahan besar. Butuh faktor pendukung,” ujar Sigit kepada Greeners pada Selasa (18/2).

Ia menambahkan, pandangan masyarakat yang menganggap sampah tidak berguna menjadi salah satu penyebab masalah sampah belum tuntas. Sebagian besar masih enggan mengelola atau memanfaatkannya kembali.

“Meskipun sejak tahun 90-an sudah ada upaya edukasi mengenai pengelolaan dan pemilahan sampah, hal tersebut belum sepenuhnya mengubah pandangan masyarakat. Kampanye besar tentang hidup sehat dan bersih sejak tahun 2000-an pun belum berhasil mengubah pola pikir ini secara menyeluruh,” tambahnya.

Penguatan Sistem

Menurut Sigit, seharusnya ada sistem yang jelas terkait pengelolaan sampah yang efektif dari skala rumah tangga. Tanpa sistem yang terbentuk dengan baik, tidak ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran. Masyarakat pun akan terus merasa bebas membuang sampah sembarangan.

Ia menyarankan sistem pengelolaan sampah yang lebih rinci dan terstruktur secara nasional. Selain itu, perlu penetapan peran dan tanggung jawab yang jelas mulai dari rumah tangga, RT, RW, hingga pemerintah daerah dan dinas terkait.

Gerakan memilah sampah, misalnya, harus dimulai dari rumah tangga dan diteruskan ke RT dan RW. Dalam hal ini, sistem yang jelas mengenai tanggung jawab dan pemberian reward bagi mereka yang berhasil mengelola sampah secara mandiri juga diperlukan.

Jika sistem pengelolaan sampah terstruktur dengan baik, pihak yang terlibat akan mendapatkan imbalan yang jelas. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan lapangan pekerjaan besar dan mewujudkan lingkungan yang bersih dan terpelihara.

Pemerintah harus berada di garis depan dalam memfasilitasi dan menyediakan infrastruktur. Ia menekankan bahwa pengelolaan sampah ini harus benar-benar terorganisasi dari skala rumah tangga.

Masyarakat sudah saatnya berhenti bersikap apatis dan mempraktikkan gaya hidup sadar sampah. Foto: Dini Jembar Wardani

Masyarakat sudah saatnya berhenti bersikap apatis dan mempraktikkan gaya hidup sadar sampah. Foto: Dini Jembar Wardani

Keberhasilan Warga

Sudah banyak keberhasilan praktik pengelolaan sampah dari sumber, meskipun belum merata di seluruh wilayah. Salah satunya di Kawasan Bebas Sampah (KBS) RW 09, Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung.

Warga Sukaluyu sudah menerapkan pemilahan sampah sejak tahun 2016. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini didukung oleh program Zero Wast Cities (ZWC) dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB).

Staf Divisi Kampanye ZWC, Ryan Hendryaan, mengatakan bahwa langkah ini berhasil mendorong warga untuk memilah sampah secara mandiri. Bahkan, warga di Sukaluyu berhasil mengelola sampah mereka sendiri dengan cara mengomposkan sampah di kawasan tempat tinggal mereka.

Model ini menunjukkan bahwa dengan  sistem pengelolaan sampah yang jelas dan terstruktur, masyarakat dapat mengelola sampah secara mandiri. Namun, keberhasilan ini perlu dorongan beberapa faktor pendukung. Di antaranya keterlibatan berbagai stakeholders, termasuk ketua RW yang konsisten melakukan edukasi, partisipasi kader, serta petugas sampah yang tegas menolak sampah yang tidak terpilah.

“Hasilnya pun signifikan, sekitar 40-50% sampah sudah terkelola dengan baik di sumber. Frekuensi pengangkutan ke tempat pembuangan sementara (TPS) pun berkurang,” ujar Ryan.

Menurut Ryan, pengelolaan sampah dari sumber oleh rumah tangga sangat penting untuk mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA. Namun, tantangannya pun cukup besar, terutama dalam hal penolakan dari masyarakat yang enggan memilah sampah di sumber.

Dengan aturan yang jelas dan sistem yang terstruktur, masyarakat akan lebih patuh. Namun, sulit menerapkan model seperti di Sukaluyu di seluruh kawasan. Sebab, masih kurang aturan RW yang tegas tentang pengelolaan sampah dan tanggung jawab jika terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, perlu regulasi khusus dari pemerintah untuk pengelolaan sampah di skala RW.

Anak-anak perlu edukasi sadar sampah sejak dini. Foto: Ecoton

Anak-anak perlu edukasi sadar sampah sejak dini. Foto: Ecoton

Edukasi Sejak Dini

Salah satu cara menumbuhkan gaya hidup minim sampah adalah dengan edukasi sejak dini. Anak-anak perlu belajar bahwa sampah bukanlah sesuatu yang kotor, melainkan tanggung jawab setiap individu. Dengan edukasi ini, mereka akan membentuk perspektif baru dan kebiasaan baik di masa depan.

Manajer Edukasi Ecoton, Alaika Rahmatullah mengatakan, perlu memahami isu polusi dan kerusakan lingkungan sejak dini. Sebab, hal itu bisa mendorong mereka menjadi pemimpin yang peduli terhadap lingkungan, terutama dalam hal pengelolaan sampah.

Ecoton merupakan salah satu organisasi yang aktif mendorong perubahan kebiasaan anak-anak dengan mengajak mereka belajar langsung tentang pengelolaan sampah. Alaika menambahkan, pelibatan para pelajar di sekolah untuk mengenal pengelolaan sampah memberikan mereka pengalaman positif. Tidak hanya pengetahuan, para pelajar juga bisa menjadi agen perubahan di lingkungan sekolah mereka.

“Mereka yang dulu enggan berbicara tentang sampah kini berani mengemukakan gagasan, mendorong teman-temannya untuk tidak membakar sampah, dan menghindari ancaman mikroplastik,” katanya.

Antusiasme anak-anak terhadap program ini juga sangat tinggi. Mereka langsung merespons dengan penuh semangat. Tidak hanya memahami bahaya pemakaian plastik, mereka juga mulai mengenal biota di sungai seperti plankton yang kian terancam dan bahaya membakar sampah. Selain itu, mereka terlibat dalam praktik pengelolaan sampah organik dan mencari solusi seperti penggunaan kembali (reuse) dan toko isi ulang (refill store).

Dengan konsep “to know, to think, to feel,” Ecoton telah mengajak anak-anak untuk mengetahui, berpikir kritis, dan merasakan langsung pengalaman tentang pengelolaan sampah. Pendekatan ini membuat anak-anak mulai merasakan kekhawatiran terhadap isu sampah, sehingga hal tersebut tertanam dalam alam bawah sadar mereka. Akibatnya, mereka termotivasi untuk peduli terhadap lingkungan dan berperan aktif dalam menjaga kebersihan di sekitar mereka.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top