Jakarta (Greeners) – Sejak Perjanjian Paris, Indonesia mengalami kenaikan hari panas tertinggi di Asia, yaitu bertambah 18 hari panas setiap tahunnya. Temuan ini datang dari laporan Climate Central dan World Weather Attribution (WWA) berjudul “Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat.”
Saat ini, Indonesia tak hanya menjadi negara dengan jumlah hari panas terbanyak di Asia, tetapi juga menempati urutan ketiga di dunia. Rata-rata hari panas di Indonesia naik dari 45 hari pada 2005–2014 menjadi 77 hari pada 2015–2024. Artinya, ada tambahan 18 hari panas setiap tahun.
Laporan tersebut juga menjelaskan bahwa sebelum Perjanjian Paris, pemanasan global menyentuh 4°C. Kenaikan suhu ini berdampak pada meningkatnya hari panas hingga rata-rata 114 hari per tahun. Meskipun negara-negara di dunia kini memenuhi rencana pengurangan emisi sesuai Perjanjian Paris, pemanasan global tetap akan mencapai 2.6°C dengan hari panas hanya berkurang 57 hari.
Semakin seringnya hari dengan suhu ekstrem seperti saat ini dapat menimbulkan berbagai dampak berbahaya. Dampak yang akan terjadi mulai dari krisis kesehatan, kekeringan, serta penurunan produktivitas di berbagai sektor.
Wakil Presiden Bidang Sains di Climate Central, Kristina Dahl mengungkapkan bahwa dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3°C, apalagi 2,6°C, seperti yang diperkirakan.
“Perlu pemotongan emisi yang lebih cepat, lebih besar, dan lebih ambisius agar generasi mendatang dapat hidup dalam iklim yang aman,” ujar Kristina dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/10).
Hari Panas Dunia Meningkat
Tak hanya Indonesia yang mengalami jumlah hari panas. Dari Meksiko, Asia Selatan, hingga Eropa Selatan juga mengalami peningkatan hari panas.
Wilayah tropis seperti Amazon dan Asia Selatan juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam frekuensi hari panas ekstrem. Ini memperlihatkan bahwa negara-negara beriklim tropis menghadapi risiko tertinggi terhadap gelombang panas.
Laporan tersebut juga menegaskan, gelombang panas ekstrem sering kali diabaikan sebagai bencana. Sehingga, banyak komunitas tetap berada dalam risiko akibat kurangnya definisi, kerangka hukum, dan data dampak yang jelas.
Kristina menambahkan, untuk mengatasi suhu panas, perlu penghijauan di kawasan perkotaan. Namun, langkah yang paling efektif untuk menghadapi permasalahan ini adalah bertransisi dari penggunaan minyak, gas, dan batu bara. Sebab, penggunaan energi fosil tersebut merupakan penyebab utama krisis iklim.
Transisi dari Fosil
Saat ini, meskipun negara-negara sudah menyepakati Perjanjian Paris untuk mengatasi dampak perubahan iklim, ada hal yang sebenarnya lebih penting. Menurut Profesor Ilmu Iklim di Centre for Environmental Policy, Imperial College London, Friederike Otto, negara-negara masih tetap harus berpindah dari minyak, gas, dan batu bara.
“Kita memiliki semua pengetahuan dan teknologi untuk bertransisi dari bahan bakar fosil. Namun, perlu kebijakan yang lebih kuat dan adil untuk bergerak lebih cepat,” kata Friederike.
Ia menegaskan bahwa para pemimpin politik perlu memahami tujuan utama dari Perjanjian Paris dengan lebih serius. Hal ini penting untuk melindungi hak asasi manusia di dunia.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































