Bakar Lahan Gambut untuk Sawit Lepas 427,2 Ton Karbon Per Ha

Reading time: 2 menit
Gambut yang terbakar akan melepaskan emisi karbon. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pantau Gambut menyorot pernyataan kontribusi kelapa sawit dalam pengendalian krisis iklim. Padahal, pembakaran lahan gambut untuk alih fungsi menjadi perkebunan sawit justru melepas hingga 427,2 ton karbon setiap hektare (ha).

Pernyataan kontroversial tersebut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah Mahmud lontarkan.

Sebelumnya, pernyataan Musdalifah tersebut mencuat di tengah diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir Jumat (11/11) lalu. Ia menyebut, kemampuan menyerap emisi kelapa sawit yaitu 2,2 miliar ton setahun.

Pengkampanye Pantau Gambut Wahyu A Perdana menyatakan, perhitungan kelapa sawit bisa menyerap emisi karbon 2,2 miliar ton setahun tersebut berangkat dari asumsi per hektare kebun sawit menyerap rata-rata 161 ton CO2/ha/tahun (Henson 1999). Dengan asumsi luasan 14 juta ha kebun sawit maka kumulatifnya mencapai 2,2 miliar ton karbon CO2.

Namun, ia menyorot fakta di lapangan bahwa banyak perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Bahkan tak jarang berada dalam ekosistem gambut. “Padahal gambut memiliki fungsi esensial dalam pengendalian perubahan iklim dan serapan karbon,” kata Wahyu dalam keterangannya.

Jika di lahan gambut terjadi pembakaran dan alih fungsi menjadi perkebunan sawit, maka perkiraannya dapat melepas hingga 427,1 ton karbon setiap ha.

1,4 Juta Ha Gambut Terbakar

Pantau Gambut melakukan analisa terhadap luasan area terbakar di gambut selama periode tahun 2015 – 2019. Hasilnya menunjukkan dari total 1,4 juta ha gambut yang terbakar, sebanyak 70 persennya atau sekitar 1,02 juta ha berada di dalam area konsesi.

Adapun rinciannya sebanyak 580.764,5 ha di atas kawasan Hak Guna Usaha (HGU) yang didominasi perkebunan sawit. Lalu 168.988,1 ha berada di kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Selanjutnya, 83.575,6 ha di atas kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Serta 187.047,9 ha di atas kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA).

Sementara itu berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 857 perusahaan perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan. Luasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang akan mendapatkan “pemutihan” sebesar 3,4 juta ha.

Badan Pengawas Keuangan (BPK) pada Mei 2022 mencatat setidaknya 2,9 juta ha perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan.

Komitmen Indonesia memulihkan gambut dan mangrove harus menjadi contoh dunia untuk menekan dampak perubahan iklim. Foto: Pantau Gambut

Fungsi Lahan Gambut

Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa. Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan. Padahal, gambut menyimpan sekitar 30 % karbon dunia.

Tak hanya itu, pada proses pembusukan yang tidak berjalan sempurna karena kondisi gambut bersifat anaerob (tidak ada oksigen) justru gambut menyimpan karbon yang sangat tinggi. Lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi (18-60% bobotnya) dibandingkan dengan tanah mineral (0.5-5% bobotnya).

Pada jasa ekosistem, khususnya terkait pengaturan hidrologi, lahan gambut sangat unik karena memiliki tingkat daya serap air yang sangat tinggi. “Gambut memiliki kemampuan menyerap dan menyalurkan air hingga 100 % – 1.300 % dari bobot keringnya sedangkan tanah mineral hanya mampu menyerap 20% – 30%,” tutur Wahyu.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top